Close

Posisi Yogyakarta pada Periode Kerajaan Mataram Islam

Posisi Yogyakarta pada Periode Kerajaan Mataram Islam

Setelah Kerajaan Pajang (1568-1586) mundur, juga Sultan Hadiwijaya meninggal dunia, selanjutnya pusat kerajaan beralih ke Mataram Islam yang beribukota di Kotagede di bawah Panembahan Senapati sebagai rajanya (HJ de Graaf, 2020:91). Dapatlah dikatakan bahwa saat itu memasuki periode Kerajaan Mataram Islam sampai tahun 1755. Pada awal memasuki  periode ini tanah yang kemudian menjadi Mataram Islam termasuk wilayah Kerajaan Pajang dan masih berupa hutan belantara  (HJ de Graaf, 2020:74). Demikian pula Yogyakarta sebagai kota belum belum dibuka.

 

Munculnya Yogyakarta berkaitan dengan peristiwa penting pada tanggal 13 Februari 1755, yaitu adanya Perjanjian Giyanti (Palihan Nagari), atau memecah wilayah Mataram Islam yang beribukota di Surakarta, menjadi dua (Soekanto, 1952:8). Saat itu raja Mataram Islam, Sri Susuhunan Paku Buwana III memberikan sebagian tanah wilayahnya kepada pamannya, Pangeran Mangkubumi, putera Sunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi). Di daerah yang kemudian menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi selanjutnya disebut Ngayogyakarta Hadiningrat, dan beliau menjadi raja bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana I. Adapun Sri Susuhunan Paku Buwana III, kemenakan Pangeran Mangkubumi, tetap bertahta di Keraton Surakarta Hadiningrat yang sebelumnya bernama Kerajaan Mataram.

 

Letak daerah wilayah yang kemudian menjadi kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwana I pada awal keberadaan Mataram Islam secara kebetulan berdekatan dengan pusat kerajaan tersebut. Lebih lanjut dapat dijelaskan demikian,

“…..Wilayah Mataram dalam arti sempit, yakni induk negara Mataram yang terapit oleh Kali Progo dan Opak (sekarang Kabupaten Sleman dan Bantul) dan dua benteng alam yang berupa Gunung Merapi di sebelah Utara dan Segara Kidul yakni Samudera Hindia telah membuktikan fungsi strategisnya dalam menghadapi Pajang pada masa berdirinya di akhir abad ke-16. Perlu diperhitunngkan pula adanya dua pegunungan kapu yang mengapit dua sungain tersebut di atas, yaitu Gunung Kidul dan Menoreh (di Kulon Progo)” (N.Daldjoeni, 1984:  155).

 

Sebelum membangun ibukota, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya untuk sementara tinggal (mesanggrah) di Ambarketawang, mulai hari Kamis Pon, tanggal 9 Oktober 1755 yang menurut kalender Jawa bersamaan dengan tanggal 3 bulan Sura tahun Wawu 1681 (Panitya-Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun, 1956: 18). Sebelum sebagai pesanggrahan Ambarketawang tempat tersebut bernama Purapara, mengandung arti sebagai tempat orang yang tengah dalam perjalanan atau bepergian (Jawa: pĕpara). Rencana Sri Sultan Hamengku Buwana I, tanah yang akan dijadikan ibukota, masih berupa hutan, disebut Hutan Beringan (Panitya…., 1956: 14). Dari Pesanggrahan Ambarketawang itulah beliau memantau pembangunan ibu kota, terlebih dahulu mendirikan istana sebagai pusat ibu kota kerajaan. Mengenai Hutan Beringan sendiri, keberadaannya telah ada semenjak awal Kerajaan Mataram, dimanfaatkan sebagai hutan tempat berburu. Istilah “beringan” berkaitan erat dengan kata, pabrèngan yaitu tempat untuk memberi tanda saat orang beramai-ramai berburu hewan di hutan (Panitya-Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun, 1956:18).

Demikian mengenai keberadaan Hutan Beringan tersebut. Setelah sebagian pembangunan istana atau keraton selesai, yaitu Gedong Sedahan, maka Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta keluarganya dari Pesanggrahan Ambarketawang pindah ke Yogyakarta menempati Gedong Sedahan tersebut pada hari Kamis Paing, tanggal 7 Oktober 1756, bersamaan dengan kalender Jawa tanggal 13 bulan Sura tahun Jimakir 1682.

Gedong Sedahan Kraton Yogyakarta (Yuwono Sri Suwito, 2019:188)

 

Peristiwa kepindahan baginda dari Ambarketawang ke keraton tersebut ditandai dengan candra sengkala memet (kronogram) berupa gambaran dua ekor naga yang ekornya saling melilit berada di atas banon renteng kelir yaitu tembok kelir gapura belakang. Sengkalan memet tahun Jawa tersebut berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal  yang menunjukkan tahun Jawa 1682.

Candra sengkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal,  1682 Jawa = 1756 Masehi. (Yuwono Sri Suwito, 2019: 218)

 

 

 

Bacaan :

N.Daldjoeni, 1984. Geogradi Kesejarahan II Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni.

H.J.de Graaf, 2020. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati, cetakan IV edisi revisi, (terjemahan dari judul De Regering van Panmbahan Senapati Ingalaga), oleh KITLV. Yogyakarta: Pen.Mata Bangsa kerjasama dengan KITLV-Jakarta.

Soekanto, 1952. Sekitar Jogjakarta 1755-1825 (Perdjandjian Gianti-Perang Dipanegara), Djakarta-Amsterdam : Mahabarata.

Panitya-Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun, 1956.  Kota Jogjakarta 200 Tahun, 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Jogjakarta :   Panitya-Peringatan Kota Jogjakarta 200 tahun.

 Yuwono Sri Suwito, 2019. Kraton Yogyakarta: Pusat Budaya Jawa. Yogyakarta:  Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

(Kontributor Penulis : A Samrotul Ilmi, 2020)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *