Peta : Sumber Informasi Sejarah
MENGENAL YOGYAKARTA DARI PETA dan PERATURAN YANG PERNAH DIBUAT. Diskusi dimulai dengan pembahasan peraturan yang pernah dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1912 tentang pembagian kampung dan kemantren (pembahasan tentang kampung juga menjadi materi bincang-bincang JHS tanggal 15 November 2020 dengan judul “Konteks Historis Produksi dan Reproduksi Peta-Peta Kota Yogyakarta, 1765-1950” ). Dijelaskan oleh bapak Margana, sapaan dari Sri Margana yang dikenal sebagai sejarawan yang memahami Yogyakarta, bahwa pada era tersebut terdapat sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Handboek voor Gementee de Politie van Yogyakarta yang berisi tentang aturan kehidupan di kota termasuk pembagian wilayah administrasinya. Saat peraturan tersebut berlaku, polisi akan melakukan inspeksi ketaatan pada peraturan.
Pada buku tersebut setidaknya memuat peraturan seperti yang diceritakan oleh Bapak Margana, antara lain :
- posisi pecinan, permukiman Cina dan bong Cina (makam orang Cina) termasuk lubang perletakan jenasah dan harga perawatannya
- aturan-aturan pembangunan toko
- aturan sanitasi lingkungan
- aturan pemeliharaan binatang babi
- aturan bersepeda termasuk terkait dengan nomor sepeda
Kapan aturan-aturan yang termuat dalam buku pegangan untuk polisi tersebut mulai tidak diberlakukan ? peraturan tersebut mulai tersingkir saat kemerdekaan Indonesia sudah diraih.
PETA adalah SUMBER INFORMASI. Satu kalimat yang bisa digunakan untuk menjelaskan peran penting peta. Khususnya peta lama, peta menjadi rujukan yang sangat berharga bagi para peneliti yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masa peta tersebut dibuat. Kurun waktu yang tidak mungkin membuat kita masuk pada periode tersebut secara fisik, menghantarkan kita untuk mempelajari satu persatu informasi yang bisa disajikan.
Ditekankan oleh Sri Margana sebagai narasumber utama dalam diskusi Membaca Peta Lama Koleksi JHS bahwa peta mempunyai peran penting sebagai sumber informasi dengan mengetahui alasan yang melatarbelakangi peta-peta tersebut di buat dan dinas/instansi pembuatnya. Terdapat point-point penting pada saat akan membaca peta yaitu antara lain :
- Pihak Pembuat Peta. Melihat siapa yang membuat dan mengeluarkan peta dan untuk tujuan apa peta tersebut dibuat
- Tahun Pembuatan Peta. Tentunya ada kepentingan tertentu pada pembuatan peta, terutama jika yang meminta adalah pemerintah kolonial Belanda dengan adanya perjanjain berssama raja tentang sesuatu wilayah termaksud
Setidaknya terdapat beberapa uraian singkat yang bisa dijelaskan terkait peta-peta lama Yogyakarta yang terkumpul, yaitu :
- Tahun 1765 Tahun yang berdekatan dengan periode benteng Vredeburg direstorasi (menurut situs https://vredeburg.id/id/page/sejarah-singkat benteng tersebut pertama kali direstorasi tahun 1760)
- Tahun 1811 Bertepatan dengan kedatangan Inggris. Terjadi perubahan pejabat Belanda yang digantikan oleh Inggris, sehingga rumah/kampung digambarkan untuk kepentingan Inggris dan saat itu Inggris merencanakan akan menyerang Yogyakarta
- Tahun 1824 Perang Jawa akan meletus dan Sultan HB II datang dari Ambon
- Tahun 1830 dan 1833 Terdapat beberapa peta yang terfokus pada kraton (beberapa peta berupa sketsa) yang menunjukkan bagian-bagian penting dari pola ruang kraton, khususnya bagi pemerintah Belanda (ditambahkan oleh Laretna T.Adishakti atau yang sering disapa dengan ibu Sita bahwa di beberapa peta buatan pemerintah Belanda tidak diketemukan perletakan dalem pangeran secara lengkap, di peta hanya termuat dalem pangeran yang besar saja)
- Tahun 1837 Peta dibuat untuk menjelaskan posisi nagaragung serta memberi tanda keberadaan sawah mantra yang berada di Tegalrejo tempat Pangeran Diponegoro
HAL-HAL MENARIK PADA PETA LAMA YOGYAKARTA
SKALA. Hal menarik diungkapkan oleh Inajati Adrisijanti, yang lebih sering disapa dengan ibu Popi, bahwa pada peta tidak jarang ditemukan skala yang tidak umum seperti saat ini. Terlihat pada peta tahun 1830 yang dicetak ulang tahun 1893 dengan insert sketsa bagian utama kraton, tertulis schaal van 36 Rijn Roeden op den Duim of 1 : 5184 der ware grootte. Dijelaskan lebih lanjut oleh Ibu Popi bahwa roeden adalah skala versi Belanda pada saat itu duim diartikan dengan jempol.
Potongan Peta Tahun 1830 yang dicetak ulang tahun 1893 dengan penggunaan istilah dalam skala berupa roeden dan duim
ISTILAH. Tidak jarang di peta diketemukan istilah-istilah yang sudah tidak lazim pada saat ini, misalnya sawah mantra pada peta 1830 diartikan oleh bapak Margana sebagai sawah khusus yang diberi tugas oleh kraton, tidak boleh ditanami kecuali untuk keperluan sultan. Umumnya kepentingan khusus untuk pejabat masjid/kraton sebagai gaji. Ditambahkan oleh A.Samrotul Ilmi atau yang sering disapa ibu Ilmi keberadaan sawah mantra yang terdapat pada peta tahun 1830 yang dicetak ulang tahun 1893 tersebut karena berada di kawasan Tegalrojo tempat berdiamnya Pangeran Diponegoro.
PENANDA. Di peta lama, tidak jarang diketemukan penanda suatu situs/lokasi yang saat ini sudah sulit atau bahkan tidak diketemukan lagi. Diceritakan oleh Ibu Sita pada peta tahun 1830 yang dicetak ulang tahun 1893 terdapat tulisan Batoe Ardja (Selo redja) yang berada di dekat lokasi kampung Tegalrejo (Tegal redja), yang kemudian didiskusikan bersama dengan penarikan analisa sementara oleh bapak Margana bahwa kemungkinan di lokasi tersebut ditemukan peninggalan Mataram, dengan penjelasan lebih lanjut yang mengacu pada tulisan Peter Carey bahwa di Tegalrejo banyak ditemukan peninggalan Hindu-Budha antara lain asrama, lingga dan yoni.
TAHUN 1889, PETA KHUSUS YANG MEMBAHAS PLERED dan KOTA GEDE
Yang menarik pada peta 1889 terdapat legenda peta dengan tulisan latin berbahasa Belanda yang bisa diterjemahkan seperti di bawah ini:
- Dinding dari Kraton Plèrèd itu setinggi 5-6 meter dengan ketebalan 1.5 meter yang keseluruhannya dari bata, di sana sini terdapat batu alam berwarna putih, tetapi pada bagian atas ditutupi dengan segitiga yang luas dari batu alam berwarna putih yang ujung temboknya seperti gerbang Mådjå Pahit. Pondasi-pondasi kraton yang kuat tersebut masih ada dan jelas dapat ditelusuri.
- Tanah yang ditinggikan, oleh masyarakat dinamakan “Sitinggil”
- Sawah, oleh masyarakat disebut aloen-aloen ( catatan : dulunya adalah alun-alun, namun pada saat peta dibuat area tersebut sudah menjadi sawah)
- Peninggalan dari Masjid Kuno Plèrèd masih jelas terlihat dan bisa disentuh (catatan : saat peta dibuat masih bisa dilihat) yang terbuat dari batu putih dalam potongan-potongan bata yang besar, terutama masih terlihat di bagian sebelah Utara dan bagian Barat yang diletakkan secara simetris yang dulunya terkubur setinggi kaki sebagai bagian dari Masjid yang masih terlihat pada bagian Barat yang terhubung dengan bagian pengimaman (catatan : mihrab), sebagai kiblat. Di sebelah Timur ada tanah yang agak tinggi yang ternyata dulu adalah bagian dari masjid. Masjid itu sendiri saat ini masih berada pada tanah yang agak tinggi (catatan : area masjid terletak di tempat yang agak tinggi dan di sebelah Timurnya juga terdapat tanah yang agak tinggi sebagai bagian dari masjid).
- Makam terletak di bagian Barat Laut di sekitar masjid. Di makam tersebut terdapat tulisan dalam bahasa arab “ Pèmoet pasarèhanè Raden Arja Singosari inkang saking Madoerå, ingkang iboe Ratoe Pelaboehan, ingkang eyang Kandjèng Soenan Pakoe Boewånå”
- Tanah yang ditinggikan, dulunya merupakan dalem Sultan Agoeng yang masih tersisa tiga umpak.
- Sebuah makam yang terletak ditengah-tengah makam menghadap ke Barat Laut, mengarah ke kiblat (catatan : seperti yang diceritakan pada no 6) yang dikelilingi oleh tembok batu alam berwarna putih dengan potongan-potongan besar yang menurut masyarakat adalah makam dari Kyahi Katègan, penghulu Sultan Agung. Pada makam terdapat tulisan dalam bahasa Jawa “Kang Jasa Ngabehi Tjakrakerti Tahoen Djumakir Ten”
- Makam Gunung Kĕlir, keseluruhannya merupakan batu alam putih yang indah dalam ukuran besar yang beragam tanpa semen untuk melekatkannya (catatan : ditumpuk tanpa spesi), di bagian dalam terdapat 5 makam, yang terbesar adalah makam Ratoe Malang, dua yang lain adalah makam dari Raden Ajoe Lĕmbah dan Pangeran Tjakraningrat. Di halaman yang sama sedikit ke arah Selatan masih terdapat satu deret tiga makam yang terpencar.
- Dinding dari Kraton Koetå Gĕdè juga masih bagus, keseluruhan terbuat dari batu alam putih – seperti yang juga ada di Plèrèd dan Gunung Kĕlir tetapi dengan ukuran yang lebih besar yang kemungkinan juga disusun tanpa perekat. Lihat lebih lanjut pada peta khusus
- Makam Koetå Gĕdè. Lihat lebih lanjut pada peta khusus
- Peninggalan-peninggalan di luar tembok keliling dari secara keseluruhan Koetå Gĕdè dan di bagian Timur serta sisi Selatan sudah tidak ada, dan seperti yang tadi dinding di luar tembok keliling juga sudah diambil dan dipindahkan.
NB : Tanda menunjukkan ada suatu tempat yang tanahnya mengalami penurunan yang oleh penduduk disebut jagang
(legenda peta diterjemahkan dan didiskusikan bersama oleh Sri Margana, Inajati Adrisijanti dan Anggi Minarni). Pembacaan peta secara detil dengan melihat keunggulannya bisa dilihat pada peta tahun 1889).
Potongan Peta tahun 1889 yang dijelaskan dalam legenda nomor 1 Dinding dari Kraton Plèrèd; nomor 2 Sitinggil nomor 3 Sawah yang dulunya aloen-aloen, nomor 4 peninggalan dari Masjid Kuno Plèrèd dan nomor 5 makam yang terletak di bagian Barat Laut di sekitar masjid
Potongan Peta tahun 1889 yang dijelaskan dalam legenda nomor 6 dalem Sultan Agoeng dan nomor 7 makam Kyahi Katègan
Potongan Peta tahun 1889 yang dijelaskan dalam legenda nomor 8 yaitu Makam Gunung Kĕlir
Potongan Peta tahun 1889 terfokus pada daerah Kota Gede yang dijelaskan dalam legenda nomor 9 yaitu dinding kraton Kota Gede, nomor 10 yaitu makam dan nomor 11 yang menunjukkan tembok keliling
Pada Peta 1889 terdapat jagang yang tersebar di beberapa tempat seperti yang dijelaskan pada tambahan legenda dengan kode khusus berupa garis miring ke kiri berulang ke bawah ( )serta banyak dalem antara lain Dalem Kentolan, Dalem Tabratan, Dalem Wirokerten, Dalem Gunung Kelir dan masih banyak lagi yang tertulis dalam peta.
Potongan peta tahun 1889 Kraton Kota Gede dan Kraton Plered yang dilihat dilengkapi dengan jagang
Disarikan dari Kegiatan Diskusi JHS Bersama Narasumber tentang Pembacaan Peta Lama Tanggal 29 Oktober 2020 yang dihadiri oleh Sri Margana sebagai narasumber tamu dan para narasumber yang sekaligus sebagai anggota JHS yaitu Inajati Adrisijanti; A Samrotul Ilmi; Anggi Minarni; Laretna T.Adishakti; Dwita Hadi Rahmi; Wahyu Utami dan Jayanti.