Candi-candi Kerajaan Mataram Kuno di Yogyakarta
Mataram pertama kali dikenal sebagai kerajaan pada tahun 717 masehi yang dipimpin oleh Sañjaya (Riyanto, 2017, p. 143). Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak tinggalan yang berasal dari Kerajaan Mataram, seperti prasasti dan candi. Keberadaan candi-candi di Yogyakarta sebagai hasil budaya Klasik abad ke-9-10 tidak merata. Banyak candi dibangun pada lingkungan yang memiliki kondisi daya dukung potensial, beberapa juga ditemukan di daerah yang tidak potensial. Candi-candi tersebut dapat dikelompokkan menjadi candi-candi di dataran rendah dan candi-candi di dataran tinggi. Candi-candi yang ditemukan berlatar agama Hindu dan Budha yang tidak sedikit lokasinya berdekatan. Candi-candi tersebut terdiri atas candi kerajaan, candi watak dan wanua.[1] Candi kerajaan biasanya dibangun di daerah dekat dengan pusat kerajaan, sedangkan untuk candi watak dan wanua dibangun di daerah pinggiran. Salah satu candi kerajaan adalah candi Prambanan.
Candi Prambanan merupakan sebuah kompleks bangunan candi yang terdiri dari tiga halaman, dengan Candi Siwa sebagai pusatnya. Candi ini dibangung oleh Rakai Pikatan, raja Mataram pada saat itu. Pada saat yang sama, Rakai Pikatan juga membangun beberapa candi beragama Budha untuk istrinya Pramodawarddhani. Candi Prambanan merupakan candi kerajaan dan berlokasi di wilayah inti Kerajaan Mataram Kuno. Asumsi tersebut diperkuat dengahn bukti prasasti, yaitu prasasti Mantyasih (827 M) dan Wanua Tengah II (908 M). Keduanya memuat daftar-daftar pemimpin Kejaraan Mataran Kuno dan lokasi-lokasi kerajaannya. Selain itu, prasasti menjadi sumber penting juga karena di dalamnya banyak tertulis data yang berisi tentang pengukuhan raja, pengukuhan sima, kutukan, pengadilan, pertanian, dan pertanggalan. Oleh karenanya, prasasti tidak dibuat sembarangan dan oleh orang sembarangan juga.
Gambar 1. Kompleks Candi Prambanan (Dok. BPCB DIY, 2012)
Adapun candi-candi yang dapat diperkirakan sebagai candi watak, yang lokasinya lebih terpinggirkan. Candi-candi tersebut adalah Candi Sambisari, Gampingan, dan Mantup. Candi Sambisari merupakan kompleks percandian yang terdiri atas empat candi yaitu satu candi induk dan tiga candi perwara, mempunyai tiga halaman bertingkat yang masing-masing dikelilingi tembok keliling yang terbuat dari batu putih. Pendiriannya diperkirakan pada abad ke-9. Banyak temuan yang menandakan candi ini bercorak agama Hindu, yaitu arca mahakala dan sebuah arca nandiswara, dua buah kotak batu, sebuah lingga semu, dan sebuah lempeng emas kecil berprasasti. Di bawah lantai selasar dipendam 12 peripih yang dimasukkan dalam periuk perunggu.
Gambar 2. Kompleks Candi Sambisari (Dok. Pribadi, 2020)
Candi Mantup terbagi atas tiga candi berukuran kecil berjajar dari utara ke selatan. Pada candi kedua, ditemukan arca yang diidentifikasikan sebagai arca kalyanasundaramurti. Arca diduga penggambaran perkawinan Civa dan Parwati. Berdasarkan arca tersebut, Candi Mantup diduga merupakan candi berlatar agama Hindhu.
Gambar 3. Candi Mantup (Dok. BPCB DIY, 2014)
Candi Gampingan merupakan kompleks percandian dengan tujuh buah bangunan dari batu putih, yang salah satunya merupakan bangunan induk. Didalamnya, terdapat tiga buah arca, yaitu arca Dhyani Buddha Vairocana dari perunggu, arca Jambhala, dan arca Candralokesvara dari batu andesit. Berdasarkan temuan arca tersebut, candi Gampingan diperkirakan berlatar agama Budha. Sampai saat ini, belum ditemukan data tertulis mengenai tahun pembangunan candi ini, sehingga didasarkan pada seni arca dan gaya bangunan, candi menunjukkan ciri abad ke-9 M.
Gambar 4. Candi Gampingan (Dok. BPCB DIY, 2012)
Beberapa bagunan baik berlatar agama Hindu maupun Budha juga didirikan di daerah perbukitan di selatan Prambanan. Bangunan-bangunan tersebut antara lain: Ratu Boko, Candi Barong, Candi Banyunibo dan Candi Ijo. Berdasarkan Prasasi Siwagerha disebutkan bahwa disebutkan bahwa Bukit Ratu Baka sebagai tempat pengungsian berupa beratus-ratus batu. Pada saat itu, Balaputra melawan Rakai Pikatan dan berusaha mempertahankan kedudukannya di bukit Ratu Boko, namun perlawanan Balaputra mengalami kekalahan yang membuatnya kembali ke Sumatra (Poesponegoro & Notosusanto, 2011). Situs Ratu Boko memiliki unsur Budha dan Hindu seperti tercantum dalam prasasti berangka tahun 714 Saka atau 792 M yang menyebutkan bahwa pendirian Abhayagiriwihara oleh Rakai Panangkaran (Poesponegoro & Notosusanto, 2011), Prasasti Ratuboko A dan B berangka tahun 856 M, serta prasasti C menjelaskan tentang pendirian Lingga Krrtivasa, Lingga Tryambaka, dan Lingga Hara.
Gambar 5. Pemandangan Kompleks Ratu Boko dari atas (Dok. BPCB DIY)
Adapun Candi Watu Gudig yang terletak di sebelah barat daya Situs Ratu Boko dan Sungai Opak di sebelah timurnya. Belum ada informasi jelas tentangnya, tapi perkiraan candi ini dibangun pada abad ke-9 M. Bangunannya ditemukan dalam kondisi yang sudah tidak jelas dengan temuan 44 buah batu andesit berukuran besar dan berbentuk seperti umpak dan sebuah yoni. Temuan tersebut menandakan bahwa situs ini berlatar agama Hindu.
Selanjutnya adalah Candi barong. Candi Barong dibangun di tiga halaman berundak, yang ketiganya dibatasi dengan pintu gerbang berupa pintu gerbang, gapura Paduraksa. Di Candi Barong ditemukan dua arca Dewi Sri, dua arca Wisnu, sebuah arca Ganesha yang belum selesai, dan dua arca yang tidak dapat diidentifikasi, dan hiasan kerang bersayap (sangkha) yang merupakan salah satu laksana Dewa Wisnu. Temuan-temuan tersebut menandakan bahwa Candi Barong adalah candi untuk pemujaan Dewi Sri yang merupakan dewi kesuburan. Dulu, Kondisi tanah di sekitar sana tidak subur, sehingga pembangunan candi diharapkan membuat keadaan tanah sekitar menjadi subur. Puncak bangunan berbentuk permata (ratna), dengan relung-relung candi yang dihiasi dengan bingkai atas yaitu Barong (kala) yang berdagu seperti kala-kala yang di temukan di Jawa Timur. Terlihat dari gaya bangunan, pola hias, arca, dan ornament bangunannya, pembuatan candi ini diperkirakan sekitar abad ke-9-10 pada masa peralihan gaya Jawa Tengahan ke Jawa Timuran.
Gambar 6. Hiasan Kala Candi Barong (Dok. BPCB DIY)
Candi dengan pola hias dewi kesuburan lain adalah Candi Banyunibo. Relief-relief pada candi ini bersifat buddhis, yaitu menggambarkan Hariti (dewi kesuburan dalam agama budha) dan suaminya, Vaisravana. Selain relief, atap Candi Barong berbentuk bingkai padma dengan puncaknya sebuah stupika yang memiliki kemiripan dengan Candi Semar, Kompleks Dieng, Gedongsongo, Plaosan Lor. Oleh karenanya, candi ini diperkirakan berasal dari abad ke-9 yaitu pada masa Sailendra, walau belum ada kejelasan tentang siapa yang memabangun karena tidak ada prasasti yang menyebutkan.
Gambar 7. Candi Banyunibo
Adapun beberapa candi yang memiliki denah bangunan yang berbeda, yaitu berbentuk bujur sangkar. Candi-candi tersebut dibangun di dataran rendah dengan lokasi yang lebih terpinggirkan dan tidak di dekat kompleks Prambanan. Candi-candi tersebut yaitu Candi Gebang, Candi Kimpulan, Candi Kalasan, dan Candi Sari.
Candi Gebang tidak memiliki informasi latar belakang pembangunannya yang jelas, tetapi keberadaan lingga, yoni, dan arca Ganesha cukup menjelaskan bahwa candi ini berlatar agama Hindu. Berbahan dasar batu andesit, candi ini berdiri diatas kaki candi yang presisi tanpa pahatan apapun pada kaki candinya. Hal tesebut menandakan bahwa Candi Barong didirikan antara tahun 730-800 M.
Gambar 8. Suasana Candi Gebang
Candi kimpulan memiliki kala yang unik. Kala yang terdapat di Candi Kimpulan memiliki lidah yang menjulur dan juga terdapat cakar pada kanan dan kiri rahangnya. Saat memasuki pintu candi, ditemukan arca Ganesha, lingga-yoni, dan peripih yang terletak di bawah lingga. Peripih tersebut berisi lempengan emas dan perak, gelang perunggu, dan batu kaca. Lempengan emas dan perak berisi mantra-mantra agama Hindu bertuliskan huruf Jawa Kuno, Bahasa Sansekerta. Berdasarkan kajian paleografis atas huruf dan bahasanya, Candi Kimpulan berasal dari abad ke-9 M.
Gambar 9. Suasana Candi Kimpulan (Dok. BPCB DIY)
Candi Kalasan yang dibangun pada tahun 778 M. Tanggal tersebut diperoleh dari prasasti yang ditemukan di halaman candi yang menyebutkan sebuah candi dibangun untuk Dewi Tara dan sebuah wihara untuk para pendeta didesa Kalasan oleh Maharaja Dyah Pancapana Karyana Panamkaranah. Sebenarnya, candi Kalasan bukan yang dimaksud dengan Tara Bhavanam, karena pada saat pemugaran ditemukan bahwa batu bagian luar candi lebih tua dari yang ada di dalam candi (Ramelan, 2013), sehingga yang dibangun pada tahun 778 M tersebut merupakan candi yang berada dibagian dalam candi yang sekarang.
Gambar 10. Candi Kalasan (Dok. BPCB DIY, 2018)
Candi Sari merupakan bangunan wihara yang megah berbentuk persegi panjang, bentuk tersebut merupakan hasil pemugaran Dinas Purbakala pada 1929-1930. Dinding luar candi dihiasi dengan pahatan 38 arca-arca apsara dengan sikap tribanggha dan memegang setangkai teratai merah dan biru. Atap candi dihiasi dengan tiga deret stupa yang masing-masing berjumlah tiga buah. Berdasarkan bentuk candi, arca-arca, dan ragam hiasnya, candi ini merupakan wihara berlatar belakang Budha. Pendiriannya diduga bersamaan dengan pembangunan Candi Kalasan, yaitu pada 778 M.
Gambar 11. Candi Sari (Dok. BPCB DIY, 2011)
Candi Kadisoka terbuat dari bahan batu andesit dan tersusun atas tiga bagian. Bagian pertama adalah pembingkai dinding batur, yang kedua adalah pembingkai sisi genta (padma), dan yang ketiga adalah setengah bulatan (half round) yang terletak di atas batur. Candi ini dibangun pada abad ke-8-9 M, dilihat dari penemuan stratigrafi yang masih jelas disekitar candi. Pada tengah lantai bilik terdapat sumuran(perigi), yang di dalamnya ditemukan peripih berupa lempengan emas bergambar bunga Teratai dan batu-batu mullia. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, candi ini berlatar agama Hindu.
Adapun candi yang unik dan berlokasi tidak jauh dari Candi Banyunibo dan Candi Barong. Candi tersebut adalah Candi Abang, yang termasuk juga candi pada masa Mataram Kuno. Berbentuk Piramida, candi dibuat dari bahan bata merah. Berdasarkan keterangan yang tertulis dalam ROD dan prasasti pendek tertulis bahwa Candi Abang berlatar agama Budha dan berasal dari abad ke-9 M. Hasil dari transkripsi dan interpretasi dari prasasti pendek yang pernah ditemukan di Situs Candi Abang, prasasti berisi pertanggalan 794 Saka atau 872 M dan terdapat tulisan paki hum jah, yang diperkirakan mengacu pada pemujaan salah satu dewa dalam panteon agama Budha. Akan tetapi, interpretasi tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi untuk mengungkap fakta tentang Candi Abang.
Kondisi Pasca Ekskavasi Candi Abang 2018 (foto diambil tahun 2018)
Candi yang berlokasi berdekatan dengan candi Abang adalah Candi Klodangan. Candi tersebut terbuat dari bahan batu putih. Diperkirakan dibuat pada masa yang sama yaitu pada abad ke-9-10 M, candi ini diduga ditinggalkan sebelum sempat digunakan oleh masyarakat pendukungnya di sekitar situs tersebut.
Gambar 12. Kondisi Candi Klodangan (Dok. BPCB DIY, 2018)
Berdasarkan tinggalan Kerajaan Mataram yang ditemukan di Yogyakarta bisa jadi bahwa dahulu Yogyakarta merupakan daerah pusat kerajaan karena terdapat candi kerajaan yaitu Candi Prambanan yang termasuk dalam wilayah Yogyakarta. Poesponegoro dan Notosusanto (2011, pp. 123-124) menjelaskan pusat kerajaan dipindahakan lebih ke timur, ke Kedu, ataukan ke sekitar Prambanan, ataukan di daerah Purwodadi-Grobokan berdasarkan berita dari Cina. Selaian itu dilihat dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa Yogyakarta menjadi saksi atas kebesaran dari kerajaan Mataram.
Daftar Referensi
Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY. (2017, April 7). Pelestarian Cagar Budaya. Retrieved from Indonesiana (Platform Kebudayaan): https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2011). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Ramelan, W. D. (2013). Candi Indonesia Seri Jawa. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jendral Kebudayaan Kementriaan Pendidikan dan Kebudayaan.
Riyanto, S. (2017). Situng Liangan Dalam Bingkai Sejarah Mataram Kuno. Berkala Arkeologi, 141-158.
Sedyawati, E., Santiko, H., Djafar, H., Maulana, R., Ramelan, W. D., & Ashari, C. (2013). Candi Indonesia (Seri Jawa). Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Setyastuti, A., W, B. P., Hardiyanto, E., Pramastuti, H., Ikaputra, Sunaryo, I., . . . Haryono, T. (2003). Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. (I. Adrisijanti, & Anggraeni, Eds.) Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.
Daftar Gambar
Dokumen Pribadi, 2020.
Laman BPCB DIY, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/, diakses pada 2 Desember 2020.
[1] Penyebutan untuk wilayah semacam desa, dan pemukiman (lebih kecil dari kerajaan).
(Kontributor Penulis : Sri Ediningsih, 2020)