Close

Jejak Mataram Islam di Yogyakarta (Kota Gede – Plered)

Jejak Mataram Islam di Yogyakarta (Kota Gede – Plered)

Pada akhir abad ke-16 M, lahir sebuah kekuasaan baru di Jawa Tengah yang berpusat di wilayah Yogyakarta sekarang, yaitu di Kota Gede. Masa tersebut dikenal dengan masa Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam berkembang pada abad ke-16 hingga abad ke-18 Masehi (Nurhadi & Armeini, 1978). Selama itu, pusat Kerajaan Mataram Islam sempat berpindah tiga kali, yaitu di Kota Gede, Plered, dan Kartasura. Oleh karena itu, pembabagan masa Mataram Islam secara kronologis dimulai dari Kota Gede, lalu Plered, dan diakhiri dengan Kartasura (Adrisijanti, 1997).

Kota Gede sebagai situs kota bekas pusat pemerintahan pertama Mataram Islam terletak di tenggara Yogyakarta saat ini, dengan toponim wilayah masih sama yaitu Kota Gede. Kota Gede memiliki komponen-komponen kota sesuai dengan kebutuhan pada saat itu, komponen-komponen tersebut meninggalkan jejak dalam bentuk bendawi seperti bangunan maupun non-bendawi. Komponen-komponen tersebut tersusun dalam suatu pola tata letak tertentu, yaitu di pusat kota terdapat alun-alun sebagai titik tengah dengan kraton di sisi selatannya,  Masjid Agung di sisi baratnya,  serta pasar di sisi utara dan timur lautnya. Di luar pusat kota, terdapat komponen lain seperti pemukiman penduduk kota, taman, pemakaman kerajaan, dan lain sebagainya. Adapun jejak bangunannya adalah sebagai berikut.

 

Gambar 1. Masjid Mataram Kota Gede

 

Masjid Agung Mataram merupakan masjid sebagai komponen asli Kota Gede yang terletak di selatan Kawasan Pasar Gede sekarang, di Banguntapan, Bantul. Di dalam babad momana disebutkan bahwa Masjid Agung selesai dibangun pada 1589 M. Pernah terbakar pada tahun 1919, masjid ini kemudian diperbaiki pada tahun 1923 M (tertulis pada prasasti di bagian kuncung serambi). Walau demikian, dinding utama ruang masih asli dengan bentuk bangunan tajug beratap tumpang tiga, mempunyai serambi, dan masih di kelilingi parit pada tiga sisinya. Di belakang masjid terdapat Makam Agung, tempat dimakamkannya para peletak dasar kerajaan Mataram Islam, Sri Sultan Hamengku Buwana II, serta tidak sedikit juga keluarga raja-raja Mataram lainnya (Adrisijanti, 1997). Di selatan makam tersebut terdapat Sendang Seliran, begitupun di luar pagar keliling juga terdapat Sendang Kemuning.

Pasareyan Hastana Kitha Ageng adalah sebutan untuk pemakaman kerajaan Mataram Islam yang berada di sebelah barat Masjid Agung Mataram yang dibangun bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid pada 1589 M. Hastana Kitha Ageng adalah pemakaman pertama dibangun oleh dinasti Mataram-Islam. Terletak di belakang masjid, pasareyan ini terbagi menjadi tiga halaman. Halaman pertama bersifat profan yang digunakan sebagai tempat administrasi peziarah. Lalu, halaman kedua adalah tempat untuk peziarah berganti pakaian dan menunggu giliran ziarah. Yang terakhir adalah halaman ketiga, dengan melalui gapura paduraksa, halaman ini merupakan halaman paling sakral dan tempat dimakamkannya tokoh-tokoh penting Mataram Islam dan kerabat kerajaannya.

Gambar 2. Pintu Gerbang Pasareyan Hastana Kitha Ageng (Dok. Pribadi, 2020)

 

Tidak jauh dari Masjid Agung Mataram, tepatnya di sisi selatannya terdapat kampung Kedhaton dan kampung Dalem sebagai pemukiman masyarkat pendukungnya. Di kampung Dalem, dibangun makam Hastorenggo sebagai pemakaman yang diperuntukkan bangsawan Yogyakarta. Di kampung Kedhaton, terdapat bangunan kecil yang menyimpan beberapa benda, yaitu watu gilang, watu gatheng/watu cantheng, dan tempayan.

Watu Gilang merupakan papan batu berwarna hitam legam yang konon dipercaya sebagai tahta raja Mataram Islam terdahulu. Pada sisi atas batu terdapat prasasti pendek dalam Bahasa Latin, Prancis, Belanda, dan Italia. Watu gatheng yang berjumlah tiga buah batu bulat massif menyerupai bola dengan warna kekuning-kuningan. Konon, ketiganya adalah alat permainan Pangeran Rangga, salah seorang putera Panembahan Senopati. Akan tetapi, masih muncul beberapa teori lain yang menyatakan bahwa bisa jadi ketiga batu gatheng tersebut adalah meriam.

 

Gambar 3. Watu Gilang dan Watu Gatheng (Dok. BPCB DIY)

 

Bagian penting lainnya adalah benteng dan jagangnya, sebagai prasarana pertahanan dan keamanan. Terdapat dua benteng di Kota Gede jika dilihat dari sisa-sisa bangunannya. Keduanya adalah benteng dalam (cepuri) yang mengelilingi kraton dan benteng luar (baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas kurang lebih 200 ha. Sayangnya, baik benteng maupun jagangnya sudah ditemukan dalam kondisi rusak berat.

Dari catatan VOC, pada masa awal kerjaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Amangkurat I, kerajaan memiliki beberapa pintu pabean sebagai tempat petugas memungut cukai bagi siapapun yang ingin masuk atau keluar Mataram. Peneliti asing juga menyebutkan bahwa tempat tersebut digunakan sebagai tempat pertahanan dan tahanan bagi bagi tawanan-tawanan asing. Adapun beberapa pintu gerbang pabean yang diketahui dari sumber-sumber sejarah, yaitu: Jagabaya yang berada paling dekat dengan laut yaitu di dekat Sungai Bogowonto, Selimbij yang terletak kira-kira 7 mil dari Salatiga ke arah Gunung Merbabu, Taji yang terletak di dekat Sungai Opak yang kira-kira 2 mil di selatan Belirangh di selatan Merbabu, Opak yang berada 1 mil di selatan Taji, Kaliajir yang terletak paling dekat dengan kota.

Gambar 4. Foto dan Denah Benteng Cepuri Kota Gede (Dok. Pribadi, 2020)

 

Pemakaman kerajaan Mataram Islam yang dibangun selanjutnya adalah Pemakaman Imagiri. Berlokasi di Girirejo, Imogiri, Bantul, kompleks pemakaman ini berada di atas sebuah bukit bernama Bukit Merak. Babad Monama dan Babad ing Sangkala menyebutkan bahwa Sultan Agung memerintahkan pembangunan pemakaman kerajaan di Bukit Merak tersebut pada akhir abad ke-17. Pemakaman Imagiri dilengkapi dengan sebuah masjid-makam yang terletak di kaki bukit, masjid tersebut Masjid Pajimatan. Seperti masjid kuno lainnya, Masjid Pajimatan dilengkapi dengan parit di depannya dan berpangkal tangga untuk naik ke pemakamannya. Di ujung tangga naik, terdapat sepasang kolam dan sebuah gapura yang disebut Gapura Supit Urang. Gapura tersebut dilengkapi dengan kelir di belakangnya.

Gambar 5. Gapura Supit di Kompleks Makam Imagiri (Dok. BPCB DIY)

Gambar 6. Masjid Pajimatan, Kompleks Makam Imagiri (Dok. Pribadi, 2020)

 

Sebelum mendirikan Pemakaman Imagiri sebagai pemakaman Sultan Agung dan keluarganya,  didirikan kompleks makam pada tahun 1829 M di bukit Giriloyo. Pemakaman tersebut bermana Kompleks Makam Giriloyo. Akan tetapi, kondisi kondisi bukit yang sempit dan tinggi membuat Kompleks makam Giriloyo batal dijadikan pemakaman keluarga walau di sana sudah dimakamkan Pangeran Juminah, paman Sultan Agung. Oleh karenanya, dicari alternatif untuk pemakaman keluarga di bukit Merak, yaitu pemakaman Imagiri.

Saat Pusat Pemerintahan dipindah ke Plered, Mataram Islam dipimpin oleh Raja yang baru yaitu Susuhnan Amangkurat I pada tahun 1646 M. Pusat pemerintahan di Plered, kini berada di wilayah dengan toponim Pleret, Bantul. Babad ing Sangkala mencatat perpindahan Sunan ke Kraton yang baru terjadi pada tahun 1647 TU (Adrisijanti, 1997). Kraton yang baru diberi nama purarya. Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Plered, terutama kratonnya dikelilingi oleh saluran dan bendungan-bendungan air. Salah satunya adalah Segarayasa (danau buatan), yang hanya tinggal toponimnya saja.

Pada pemerintahan Sunan Amangkurat I di Plered, muncul banyak perlawanan karena pribadinya yang tiran, hal tersebut terlihat dari beberapa peristiwa pembunuhan atas orang-rang yang tidak sehaluan dan bisa membahayakan kedudukannya, bahkan untuk peristiwa asmara seperti memperebutkan wanita. Sunan Amangkurat tidak segan untuk melakukan hukuman pembunuhan atas apapun yang menurutnya berpengaruh dan mengganggu. Pada akhirnya, sikap Sunan Amangkurat I menimbulkan banyak kebencian dan permusuhan yang mendorong munculnya kekacauan, misalnya perlawanan Trunajaya pada 1675-1680. Perlawanan tersebut mengakhiri kekuasaan Sunan Amangkurat I.

Plered sebagai pusat kota kedua tidak meninggalkan jejak-jejak yang bisa dinikmati secara visual. Keraton di Plered hanya tersisa puing-puingnya saja, keraton Kerta dapat dilihat dari umpak yang ditemukan (Adrisijanti, 2018). Masjid di Pleret juga sekarang hanya tersisa puing-puingnya saja. Makam di Pleret berada pada bagian barat masjid terdapat makam yang sudah bercampur dengan makam baru. Salah satu tokoh di Plered yang dimakamkan dibarat masjid adalah Ratu Labuhan (Adrisijanti, 2018). Makam lain ada di Gunung Kelir tempat Ratu Malang dimakamkan dan Banyusumurup tempat keluarga kerajaan yang dihukum mati

Sebelum mendirikan Pemakaman Imagiri sebagai pemakaman Sultan Agung dan keluarganya,  didirikan kompleks makam pada tahun 1829 M di bukit Giriloyo. Pemakaman tersebut bermana Kompleks Makam Giriloyo. Akan tetapi, kondisi kondisi bukit yang sempit dan tinggi membuat Kompleks makam Giriloyo batal dijadikan pemakaman keluarga walau di sana sudah dimakamkan Pangeran Juminah, paman Sultan Agung. Oleh karenanya, dicari alternatif untuk pemakaman keluarga di bukit Merak, yaitu pemakaman Imagiri.

Saat Pusat Pemerintahan dipindah ke Plered, Mataram Islam dipimpin oleh Raja yang baru yaitu Susuhnan Amangkurat I pada tahun 1646 M. Pusat pemerintahan di Plered, kini berada di wilayah dengan toponim Pleret, Bantul. Babad ing Sangkala mencatat perpindahan Sunan ke Kraton yang baru terjadi pada tahun 1647 TU (Adrisijanti, 1997). Kraton yang baru diberi nama purarya. Sumber-sumber Belanda menyebutkan bahwa Plered, terutama kratonnya dikelilingi oleh saluran dan bendungan-bendungan air. Salah satunya adalah Segarayasa (danau buatan), yang hanya tinggal toponimnya saja.

Pada pemerintahan Sunan Amangkurat I di Plered, muncul banyak perlawanan karena pribadinya yang tiran, hal tersebut terlihat dari beberapa peristiwa pembunuhan atas orang-rang yang tidak sehaluan dan bisa membahayakan kedudukannya, bahkan untuk peristiwa asmara seperti memperebutkan wanita. Sunan Amangkurat tidak segan untuk melakukan hukuman pembunuhan atas apapun yang menurutnya berpengaruh dan mengganggu. Pada akhirnya, sikap Sunan Amangkurat I menimbulkan banyak kebencian dan permusuhan yang mendorong munculnya kekacauan, misalnya perlawanan Trunajaya pada 1675-1680. Perlawanan tersebut mengakhiri kekuasaan Sunan Amangkurat I.

Plered sebagai pusat kota kedua tidak meninggalkan jejak-jejak yang bisa dinikmati secara visual. Keraton di Plered hanya tersisa puing-puingnya saja, keraton Kerta dapat dilihat dari umpak yang ditemukan (Adrisijanti, 2018). Masjid di Pleret juga sekarang hanya tersisa puing-puingnya saja. Makam di Pleret berada pada bagian barat masjid terdapat makam yang sudah bercampur dengan makam baru. Salah satu tokoh di Plered yang dimakamkan dibarat masjid adalah Ratu Labuhan (Adrisijanti, 2018). Makam lain ada di Gunung Kelir tempat Ratu Malang dimakamkan dan Banyusumurup tempat keluarga kerajaan yang dihukum mati dimakamkan (Adrisijanti, 2018).

Gambar 7. Situs Masjid Kauman, Pleret (Dok. Pribadi, 2020)

 

Adapun tinggalan yang hingga kini masih dilakukan penelitian yaitu pada situs Kerta. Situs Kerta berada di dusun Kerto, Pleret, Bantul. Situs ini diyakini sebagai bekas lokasi didirikannya kraton Kerta. Sejarahnya, pembangunan kraton Kerta dimulai pada tahun 1617 M. Pada saat mulai ditempati, komponen-komponen pada kraton Kerta belum sepenuhnya lengkap. Hal tersebut diketahui dari babad momana yang beirisi tentang pembangunan Prabayeksa sebagai bangunan inti dibangun pada tahun 1620 M. Belum ditemukan data-data eksplisit tentang peta dan komponen-komponen dalam kompleks kraton Kerta. Data mengenai kraton Kerta dapat diketahui dari catatan Jan Vos, seorang utusan Belanda yang pernah mengunjungi Kerta pada September 1642. Menurut penggambarannya, Sebagian besar komponen bangunan di dalam kompleks kraton Kerta tidak jauh berbeda dengan kraton-kraton setelahnya (Tim Ekskavasi Situs Kerto tahun 2011, 2011).

 

Daftar Pustaka

Adrisijanti, I. (1997). Kota Gede, Plered, dan Kartasura sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Mataram Islam (1578 TU–1746 TU): Suatu Kajian Arkeologi. Universitas Gadjah Mada, Arkeologi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya.

Adrisijanti, I. (2018). Kerta dan Pleret. In A. Wityanto, Mayangkara (pp. 6-13). Yogyakarta: UPT. Balai Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan DIY.

N, A. H., & Roychansyah, M. S. (2018). Menggali Identitas Kawasan Masjid Pathok Negoro Plosokuning Berdasarkan Pendekatan “Collective Memory”. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan, 149-167.

Nurhadi, & Armeini. (1978). Berita penelitian Arkeologi No 16 : Laporan Survai Kepurbakalaan Kerajaan Mataram Islam (Jawa Tengah). Jakarta: Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala departemen P & K.

Setyastuti, A., W, B. P., Hardiyanto, E., Pramastuti, H., Ikaputra, Sunaryo, I., . . . Haryono, T. (2003). Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. (n. Adrisijanti, & Anggraeni, Eds.) Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.

Tim Ekskavasi Situs Kerto tahun 2011. (2011). Laporan Ekskavasi Situs Purbakala di Kawasan Cagar Budaya Pleret: Situs Kerto (Tahap 3). Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Daftar Gambar

Dokumentasi Pribadi, 2020

Laman BPCB DIY, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/, diakses pada 2 Desember 2020.

 

 

(Kontributor : Sri Ediningsih, 2020)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *