Pesanggrahan-pesanggrahan sebagai Bagian dari Wilayah Milik Kerajaan Mataram di Yogyakarta
Di Yogyakarta, banyak pesanggrahan yang dibangun baik oleh Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. Pesanggrahan dibangun sebagai tempat untuk beristirahat yang sifatnya eksklusif, hanya untuk keluarga kerajaan. Selain itu, beberapa pesanggrahan juga berfungsi filosofis-spiritual. Adapun pesanggrahan yang dibangun sebagai kediaman sementara Sri Sultan Hamengkubuwana I Ketika pengerjaan kraton belum selesai, yaitu Pesanggrahan Ambarketawang di Gamping, Sleman. Pesanggrahan ini digunakan sebagai kediaman sementara pada tahun 1755 hingga 1756, dengan elemen benteng, gerbang, alun-alun, kandang kuda, dan ruang lain yang dibangun menyerupai kraton. Tidak jarang, pesanggrahan ini disebut sebagai “benteng” atau “istana” milik Kraton Yogyakarta.
Gambar 1. Benteng Pesanggrahan Ambarketawang (Dok. BPCB DIY)
Panggung Krapyak juga merupakan pesanggrahan yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I yang mulai dibangun pada tahun 1782 dan selesai pada 1788. Terletak di sebelah selatan kraton, pesanggrahan ini difungsikan sebagai tempat singgah dan pengawasan terhadap keluarga kraton yang ingin berburu binatang dan sebagai sarana pertahanan. Panggung Krapyak menjadi salah satu struktur bermakna filosofis-simbolik berdasarkan sumbu imajiner yang menjadi keunikan Yogyakarta, yaitu Gunung Merapi-Tugu Palgading-Kraton-Panggung Krapyak. Bangunan ini merupakan rangkaian bangunan paling akhir pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Gambar 2. Panggung Krapyak (Dok. BPCB DIY)
Sebelumnya, Tamansari juga menjadi salah satu penggrahan yang dibangun atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwana I yang dibangun pada 1758. Terletak di sebelah barat Kraton Yogyakarta, Tamansari difungsikan sebagai tempat relaksasi bagi keluarga kraton dan juga sebagai sarana pertahanan, pengairan, serta tempat beribadah. Di samping itu, Tamansari juga difungsikan sebagai kebun milik Kraton Yogyakarta. Tamansari dilengkapi dengan gerbang-gerbang yang indah, danau buatan dengan bangunan di tengahnya, berbagai kolam, berbagai bangunan fasilitas dan peristirahatan, serta jalan bawah tanah dan air. Selain itu, terdapat 18 kebun dengan tanaman yang berbeda, mulai dari sayuran, bunga-bungaan, hingga rempah-rempah.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana II, juga dibangun dua pesanggrahan. Pesanggrahan tersebut adalah Pesanggrahan Rejowinangun atau sering disebut Warung Bata dan Pesanggrahan Gua Siluman. Kedua pesanggrahan dibangun di luar kraton, yaitu Pesanggrahan Rejowinangun di dekat Sungai Gajah Wong dan Pesanggrahan Gua Siluman di Banguntapan, Bantul. Terletak jauh dari kraton, keduanya memiliki elemen yang serupa dengan Tamansari. Pada ketiganya dijumpai unsur air yang diwujudkan dalam bentuk kolam atau danau buatan, tanaman, bangunan, dan tembok yang mengelilinya.
Gambar 3. Pesanggrahan Rejowinangun atau Warung Bata (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Gambar 4. Pesanggrahan Gua Siluman (Dok. BPCB DIY)
Selain itu, baik Tamansari, Pesanggrahan Rejowinganun, maupun Pesanggrahan Gua Siluman memiliki konstruksi dan unsur yang khas didalamnya, yaitu dengan bangunan dibuatnya lengkung serta ambang atas jendela dan pintu yang juga berbentuk lengkung. Lengkung tersebut secara tekhnik dimaksudkan sebagai upaya pertahanan, mengingat pada masa awal Kesultanan Yogyakarta, kondisi politik tidak stabil dan banyak terjadi pemberontakan dan peperangan, sehingga pesanggrahan didirikan dengan banyak fungsi. Jadi, pada awal Kasultanan Yogyakarta, pesanggrahan memiliki fungsi sebagai tempat beristirahat, meditasi atau menyepi, dan fungsi pertahanan.
Tradisi membangun pesanggrahan kemudian berlanjut hingga pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Pesanggrahan Ambarwinangun yang terletak di sebelah timur Sungai Bedog di Tirtomolo, Bantul merupakan salah satu pesanggrahan yang dibuat pada masa Sri Sultan Hamengku Buawana VI pada 1855 dan kemudian dibangun ulang dan disempurnakan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana VII pada 1920. Pesanggrahan ini difungsikan hingga masa Sri Sultan Hamengku Buwana IX pada 1940-an. Konstruksi bangunannya terdiri dari bangunan tempat istirahat, sistem perairan berupa kolam, dan pemandian. Pesanggrahan Ambarwinangun memiliki beberapa fungsi yang berkembang. Pada awalnya, pesanggrahan ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga Kraton seperti pesanggrahan lainnya. Selanjutnya, pada masa penjajahan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai pusat pelatihan tantara Jepang. Pada masa agresi Belanda kedua, bangunan ini digunakan sebagai gudang senjata dan obat-obatan bagi tentara Indonesia. Bangunan ini juga pernah difungsikan sebagai Kantor Bupati Bantul pada 1949-1952.
Gambar 5. Pesanggrahan Ambarwinangun yang hingga kini masih digunakan (Dok. BPCB DIY)
Selain itu, Pesanggrahan Ambarrukma juga dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana VI dan direnovasi dan dikembangkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII pada 1859 dan diselesaikan pada 1860. Struktur bangunan Pesanggrahan Ambarrukma terdiri dari regol menghadap selatan, kelir, pendapa, paretan, pringgitan, dalem, gadri, bale kambang, seketheng, dan gandok. Pada awalnya, pesanggrahan ini difungsikan sebagai tempat untuk menyambut para pejabat Belanda dari kasultanan Surakarta yang dating ke Kasultanan Yogyakarta. Pesanggrahan ini kemudian mengalami renovasi dan dialihfungsikan sebagai tempat peristirahatan keluarga kraton. Pada 1921, Pesanggrahan Ambarrukma menjadi kediaman tetap Sri Sultan Hamengku Buwana VII Bersama GKR Kencana. Perpindahan ini dilakukan pada saat Sri Sultan Hamengku Buwana telah “pensiun” sebagai Sultan hingga wafat.
Gambar 6. Pendopo Pesanggrahan Ambarrukma (Dok. BPCB DIY, 2012)
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, dibuat sebuah pesanggrahan juga dengan nama Pessanggrahan Ngeksiganda. Pesanggrahan ini terletak di Kawasan dataran tinggi Kaliurang. Pada awalnya, bangunan Pesanggrahan Dalem Ngeksiganda merupakan bangunan milik Belanda yang dibangun pada awal abad ke-20, kemudian pada tahun 1927, tanah dan seluruh peralatannya dibeli oleh Sri Sultan Hamengkubowono VIII dan dimodifikasi menjadi tempat peristirahatan keluarga kraton sehingga kompleks bangunan Pesanggrahan Dalem Ngeksiganda merupakan bangunan milik Kraton Mataram Yogyakarta. Salah satu modifikasinya adalah dengan menambah bangunan yang saah satunya untuk ruang gamelan. Elemen-elemen kompleks bangunan Pesanggrahan Dalem Ngeksigondo terdiri dari bangunan induk dan Bangunan Gedong Gongso.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Pesanggrahan Dalem Ngeksiganda juga memiliki peran penting sebagai salah satu sarana penunjang perjuangan bangsa Indonesia. Pada saat itu, Pesanggrahan Dalem Ngeksiganda , khususnya Gedong Gongso dipinjamkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX sebagai lokasi pertemuan anggota delegasi Komisi Tiga Negara (KTN) pada tanggal 13 januari 1948. Komisi Tiga Negara (KTN) merupakan komisi yang dibentuk PBB untuk meredakan konfik antara Republik Indonesia dengan Belanda. Komisi tersebut beranggotakan tiga negara yaitu Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Hasil perundingan ini berhasil meredakan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda dan menghasilkan Perundingan Renville.
Referensi
Hadiyanta, E. (2015). Tinjauan Singkat: Pesanggrahan-pesanggrahan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bulletin Narasimha, No. 08, 16-30.
Dewi, E. R. (1985). Bentuk Lengkung pada Pesanggrahan-pesanggrahan Kesultanan Yogyakarta (Tinjauan Arsitektur berdasarkan Bentuk, Fungsi, Konstruksi, dan Simbol). Berkala Arkeologi, VI, 61-69.
Prakosa, W., & Suparman, A. (2013). Karakteristik Rumah Peristirahatan Kolonial Belanda di Kaliurang. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil, Vol.5, A1-A16.
(Kontributor : Sri Ediningsih, 2020)