Yogyakarta: Kota Kampung dan Kampung Kota yang Mendunia
Meskipun sejak awal digagas sebagai pusat ibukota kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, pendirian dan perkembangan kota Yogyakarta, yang berpusat di kawasan Kraton dan Benteng, tidak dapat dilepaskan dari kampung-kampungnya. Kraton, kota, dan kampung-kampungnya, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan bahkan dapat merupakan representasi konsep Mangunggaling Kawula lan Gusti – pertautan antara raja sebagai penguasa dan rakyatnya yang ajur-ajer.
Membicarakan kota-kota di Indonesia, khususnya kota Yogyakarta, tidak boleh melupakan kampung-kampungnya, demikian pula, membicarakan kampung-kampung di kota ini, tak akan lepas dari sejarah dan perkembangan kotanya. Yogyakarta memang representasi yang asli, unik, bersahaja, tetapi sekaligus istimewa tentang kota-kota yang khas Indonesia. Kota yang bernuansa kampung dan kampung yang bernuansa kota – Kota Kampung dan Kampung Kota.
Sebagaimana telah dicatat dalam banyak cerita dan tulisan, sejak awal ketika Pangeran Mangkubumi mendirikan Kraton dan kota Yogyakarta ini, sekaligus juga didirikan beberapa kampung yang berfungsi sebagai kawasan-kawasan perumahan bagi warga/pengikut Sultan. Dengan kata lain, tidak saja konsepsi dan pembangunan kota ini sarat dengan makna kosmologi yang dalam dan berarti hingga saat ini, secara fungsional kota ini juga dirancang dan dikembangkan dengan satu sistem tata ruang kota yang luar biasa, dimana disamping kawasan kraton dan inti kotanya, telah dirancang dan dibangun pula tata letak kawasan perumahan dalam wujud kampung-kampung yang mendukung eksistensi dan perkembagan Kraton dan Kota Yogyakarta.
Di dalam lingkungan benteng sebagai misal, sejak awal berdirinya kota ini juga telah ditata kampung-kampung tempat perumahan para abdi dalem dan kerabat kraton/raja. Di lingkungan njeron benteng sebagai misal, terdapat beberapa kampung jabatan dengan toponimnya yang menjelaskan peran-peran profesional atau keahlian warganya, antara lain: kampung Mantrigawen, tempat tinggalnya para kepala atau koordinator pekerja atau abdi dalem kraton; kampung Suronatan, perumahan tempat tinggal para ulama atau pemuka agama; kampung Ngampilan, perumahan dimana para abdi dalem yang menjabat sebagai pembawa ampilan dalem atau seperangkat benda atau alat milik Sultan yang digunakan untuk upacara resmi.
Selain itu, terdapat pula kampung Nayaka Wolu, yakni perumahan yang khusus dipetuntukkan bagi para abdi dalem yang mempunyai jabatan cukup tinggi karena keahlianya. Kampung-kampung ini juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Kraton dan juga kota Yogyakarta, misalnya:kampung Bumijo, perumahan bagi para ahli yang mengurusi tata kelola sawah, termasuk sistem tata airnya; kemudian kampung Gedhong Kiwa, perumahan bagi abdi dalem Nayaka Gedhong Kiwa, semacam koordinator para abdi dalem yang mempunyai berbagai keahlian khusus seperti perawat gajah, pelatih kuda tunggangan, penatah, penyungging, niyaga, pesindhen, dan kusir kereta; kemudian juga aka kampung Gedhong Tengen yang merupakan perumahan bagi koordinator pegawai-pegawai yang mengurusi perbendaharaan, prajurit, pemungut pajak, pakaian prajurit, dan para pembuat perhiasan. Beberapa kampung lain juga mempunyai posisi penting sejak awal pendirian Kraton dan Kota, yakni: Keparakan Kiwa, perumahan para koordinator politik; Keparakan Tengen, perumahan para ahli penata busana, ahli kesusasteraan Jawa; Numbak Anyar, tempat tinggal para koordinator tenaga kerja; serta Penumping, tempat tinggal para pemuka/komandan prajurit.
Sementara itu, tidak kalah menarik, di luar lingkungan Benteng Kraton, dalam format tapal kuda yang melingkupi Benteng, disusun formasi perkampungan yang merupakan kesatuan-kesatuan kompi, angkatan perang kerajaan. Beberepa contoh kampung prajurit ini antara lain: Kampung Nyutran (Prajurit Nyutra, prajurit-prajurit yang berasal dari Sumenep); Kampung Prawirataman (abdi dalem prajurit Prawitama); Kampung Jagakaryan (abdi dalem prajurit Jagakarya); Kampung Patangpuluhan (abdi dalem prajurit Patangpuluh); Kampung Langenastran (abdi dalem prajurit pengawal Langenastra); Kampung Wirabrajan (abdi dalem prajurit Wirabraja); Kampung Mantrijeron (abdi dalem prajurit Mantrijero); Kampung Bugisan (abdi dalem prajurit yang berasal dari Bugis); dan masih terdapat beberapa kampung prajurit lain. Tata letak kampung-kampung ini sengaja didesain sedemikian rupa, sehingga dapat merupakan sistem pertahanan spasial dan sosial yang kuat untuk melindungi Kraton, Raja, dan kerabatnya.
Mesjid ‘pathok negara’ merupakan salah satu elemen penting tata ruang kota tradisional pada masa kerajaan Islam di Jawa. Untuk kota Yogykarata, masjid ini merupakan satu paket dengan konsep sumbu imajiner dan sumbu filosofi yang merepresentasikan kesatuan antara makro kosmos dan mikro kosmos, antara penguasa dan masyarakat, juga keberadaan masjid besar atau masjid kraton. Masjid ‘Pathok Negoro” merupakan empat satuan masjid yang dibangun di empat penjuru kota, atau empat penjuru mata angin, yakni Utara, Barat, Selatan, dan Timur. Keempatnya, melambangkan empat arah yang pusatnya di kraton. Dengan demikian, empat masjid dan pusatnya/kraton ini realisasi dari konsep ‘kiblat papat lima pancer. ’ Lokasi empat masjid ini juga merupakan representasi pola dasar hierarki ruang kerajaan Mataram, khususnya membatasi lingkaran “negara gung” (wilayah inti kerajaan) dengan “manca negara” (wilayah kekuasan kerajaan) yang lebih luas. Keempat masjid ini berada dalam radius lingkar dari 5 – 15 Km diukur dari lokasi kraton.
Lebih lanjut, dalam skala yang lebih luas, kota Yogyakarta juga ditandai dengan batas makro yang dikenal dengan Pathok Nagara. Secara harafiah, istilah ini menandai ‘batas negara’ secara fisik. Meskipun demikian, lebih dari sekedar pembatas atau penanda fisik/ruang, “pathok negoro” yang ditandai dengan keberadaan empat (4) masjid, di empat penjuru yang berbeda, mempunyai makna yang lebih dalam, yakni sebagai simbol spiritual ‘penjaga’ atau juga ‘tameng’ seluruh entitas kerajaan dari kemungkinan intervensi dari luar yang tidak diinginkan, baik intervensi fisik yang nyata maupun intervensi non fisik, termasuk kepercayaan ataupun juga nilai-nilai.
Sebagai kerajaan dengan prinsip-prinsip Islam, keempat masjid ini, yang resminya merupakan masjid kraton tau masjid kagungan dalem (milik kerajaan) dan dikelola oleh para kyai atau pemuka agama Islam yang ditunjuk oleh kraton, dan dengan sendirinya merupakan abdi dalem kraton. Sengaja dibangun di wilayah yang dikenal engan ‘mutihan’ yakni tempat tinggal para santri, keberadaan empat masjid ini dimaksudkan untuk memperluas dan meningkatkan syiar agama Islam, sebagai agama resmi kesultanan waktu itu. Dengan berkembangnya agama Islam di wilayah-wilayah ini, diharapkan warga di sekitar masjid dapat menjadi benteng spiritual, khususnya atas kemungkinan intervensi nilai-nilai dari luar yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran ajaran agama Islam. Didukung dengan beberapa pesantren yang berada di sekitar keempat masjid tersebut, para santripun juga dapat digerakkan sebagai sumber daya ‘pertahanan rakyat’ untuk menjaga dan melawan setiap kemungkinan intervensi militer yang akan datang ke kerajaan, khususnya masuk ke wilayah negara gung.
Di dalam perkembanganya, berdasarkan konsep tata ruang kota ‘sumbu filosofis’ yang sarat makna, berkembang pula kampung-kampungnya. Apabila pada periode awal pendirian kerajaan dan kota ini, kampung-kampungnya cenderung terletak di dalam lingkungan benteng, kemudian sedikit di luar benteng, khususnya kampung prajurit, perkembangan kota dan kampungnya pada periode berikutnya, sekitar tahun 1760 sampai 1830an, semakin berkembang ke arah utara, di sekitar kawasan perdagangan yang juga semakin maju, kawasan Malioboro. Beberapa kampung di luar benteng yang masih merupakan tempat tinggal para Nayaka atau abdi dalem Kraton antara lain: Kampung Pajeksan, tempat tinggal para Jeksa; Kampung Kumetiran, tempat tinggal para abdi dalem ekspedisi surat; Kampung Gandhekan, tempat tinggal pesuruh Kraton; dan beberapa lainya.
Pada periode setelah terbitnya Hukum Agrariche wet tahun 1870, yang memungkinkan ekspansi investasi pengusaha Belanda di Indonesia, semakin berkembanglah kota Yogyakarta, khususnya dengan pembangunan berbagai fasilitas komersial dan perdagangan milik pengusaha Belanda, dan ini juga memicu perkembangan perkampungan untuk kaum pribumi yang memanfaatkan terbukanya peluang kerja yang terbuka di kota ini. Meskipun demikian, dari sisi lokasi, perkembangan kampung-kampung ini masih terbatas pada sekitar kawasan Malioboro, sebagai bagian penting kegiatan komersial di kota ini.
Selanjutnya, perkembangan kampung semakin meluas ka arah barat dan timur kawasan Malioboro, khususnya setelah perkambangan kawasan Kota Baru yang dikembangkan untuk memenuhi pebutuhan perumahan warga asing, khususnya Belanda. Sejak saat itu, mulai tumbuh kampung-kampung yang cenderung organik, dalam artian tidak dalam cakupan konsepsi dan tata ruang kota Yogyakarta yang digagas Pangeran Mangkubumi. Perkampungan ini, cenderung memanfaatkan lahan-lahan kosong di sepanjang sungai yang mengapit kawasan Malioboro, yakni sungai Code di sisi Timur dan sungai Winongo di didi Barat kawasan Maliboro. Keadaan ini terus terjadi sampai awal kemerdekaan republik ini pada tahun 1945.
Pada awal-awal tahun kemerdekaan, perkembangan kota Yogyakarta dipengaruhi oleh peran sesaat kota ini sebagai ibukota negara pada tahun 1946-1948. Pada saat itu kota ini didatangi oleh sebagian pegawai pemerintah republik yang harus pindah dari Jakarta, dan keadaan ini memberikan dampak pada perkembangan beberapa kampunng di kawasan pusat kota. Beberapa kampung mengalami peningkatan kepadatan dan beberapa kawasan kampung semakin meluas areanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan republik ini, serta berkembangnya fungsi dan peran kota Yogyakarta sebagai kota Budaya, Pariwisata, dan Pendidikan, berkembang pula perkampungan di kota ini. Perkembangan ini terjadi baik pada kampung-kampung lama yang mengalami pemadatan dan perluasan, maupun tumbuhnya kampung-kamoung yang organis dan inkremental di kawasan-kawasan ’marginal’ khususnya dilahan-lahan bantaran sungai Code dan Winongo. Perkembangan kampung-kampung yang inkremental, organik, dan informal ini di dukung oleh lemahnya tata kota dan manajemen lahan yang dilakukan oleh pemerintah kota, yang dalam beberapa kasus mendorong pemanfaatan dan bahkan penyerobotan tanah-tanah publik untuk perumahan.
Kejadian ini, berlangsung sampai saat ini, dan bahkan pesat terjadi sebagai bagian dari dampak pesatnya perkembangan kota dan penduduknya serta lemahnya tata kota dan pengendalian pembangunan kota. Dampaknya adalah perkembangan kota Yogyakarta yang benar-benar merupakan percampuran antara kawasan-kawasan kota yang sejak awal ditata, misalnya kawasan Kraton dan Njeron Benteng, Kawasan Kota Baru dan beberapa permukiman lain yang dibangun orang/pemerintah Belanda; beberapa perumahan yang dibangun oleh pemerintah RI, dan perkampungan, baik kampung-kampung tradisional yang telah lama eksis, maupun kampung-kampung organik yang terus menjamur di lahan-lahan marginal, khususnya lahan bantaran sungai di sepanjang sungai yang melintasi kota ini, yakni sungai Code, Winongo, dan Gadjah Wong.
Saat ini ‘percampuran’ tata ruang kota yang terencana dan tidak terencana ini telah meluas meliputi wilayah perkotaan Yogyakarta dan terus mengarah ke kawasan-kawasan pedesaan dan pertanian subur di wilayah Kabupaten Sleman dan Bantul. Hasilnya adalah satu percampuran antara perkembangan kota dan perkembangan kampungnya. Perkembangan kota diikuti dan didukung oleh perkembangan kampung, perkembangan kampungnya juga disebabkan dan didukung oleh perkembangan kotanya. Kota dan kampung berkembang bersama, saling mendukung, saling tergantung, dan saling mengisi bahkan memberi warna bersama – kota kampung dan kampung kota.
Kota Yogyakarta berkembang bersama kampung-kampungnya, kampung-kampung Yogya juga memberi warna pada kotanya. Menata dan melestarikan kota Yogyakarta berarti juga menata dan melestarikan kampung-kampungnya, karena kampung kampung di kota ini, merupakan bagian sejarah dan identitas kota Yogyakarta.
Yogyakarta: Kota Kampung, Kampung Kota yang Mendunia
(Kontributor Penulis : Bobi Setiawan)