Close

Yogyakarta Kuno

Yogyakarta Kuno

Setelah perpecahan kerajaan Mataran Islam yang ditulis dalam perjanjian Giyanti pada tahun 1755 M menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kasultanan Yogyakarta dipimpin oleh Hamengku Buwana I, yang pada saat itu meninggali Pesanggrahan Ambarketawang untuk sementara sampai pembangunan kraton selesai. Tampaknya, pembangunan kraton yang dimaksudkan merupakan bangunan kraton beserta komponen-komponen kota yang lain yang dibangun saling bersinambungan dan mencapai puncaknya pada masa Hamengku Buwana VIII pada tahun 1921-1939.

Tata fisik Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, terutama civic center-nya sudah mencapai bentuk yang utuh (Hadmaji, 2003). Komponen utama kota dan tata ruangnya berorientasi ke utara, serta berada di tengah di antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo di barat. Komponennya kotanya, antara lain: kraton dan cepurinya, alun-alun, masjid Agung, benteng dengan jagangnya, pasar Beringharjo, Taman Sari, Tugu Pal Putih, Panggung Krapyak, jaringan jalan, dan pemukiman termasuk dengan keberadaan dalem-dalem (Hadmaji, 2003).

Kraton merupakan tempat kediaman raja, meliputi wilayah di dalam lingkup tembok cepuri, sedangkan kedhaton digunakan untuk menyebutkan wilayah yang paling dalam dari kraton, yaitu Bangsal Kencana dan pelatarannya. Bangunan yang terdapat di kraton Yogyakarta kaya akan ornament ukiran, kaca patri, dan representasi tiga dimensi. Ornamen-ornamen tersebut beberapa bersifat dekoratif dan beberapa lagi memiliki makna simbolik. Dari sekian banyak ornamen, ornamen simbolik yang terkenal adalah prajacihna, yaitu lambing kerajaan dalam bentuk sepasang sayap, mahkota, dan inisial HB dalam huruf Jawa yang disertai sengkalan memet, yaitu penanda waktu yang diwujudkan dalam gambar. Sengkalan memet di kraton Yogyakarta yang dikenal sebagai “Dwi Naga Rasa Tunggal” yang menggambarkan angka tahun 1682 J, yaitu pindahnya Sri Sultan Hamengku Buwana I dari Ambarketawang ke kraton.

Masih terkait dengan kraton, yaitu adanya Alun-alun Ler dan Alun-alun Kidul yang mengapit kraton. Alun-alun Ler terletak di utara kraton, sedangkan Alun-alun Kidul berada di selatannya. Pada kedua alun-alun tersebut, terdapat sepasang pohon beringin yang dipagari keliling, sehingga kedua beringin tersebut diberi nama Ringin Kurung. Alun-alun Ler berfungsi sebagai tempat untuk seremonial dan acara seperti sekaten dan grebeg, sedangkan Alun-alun Kidul digunakan untuk Latihan para prajurirt dan jalur prosesi seremonial pemakaman jenazah sultan yang akan dimakamkan di Pemakaman Imagiri.

Gambar 1. Kraton dan Alun-alun Ler tampak dari utara (Dok.Pribadi, 2020)

 

Gambar 2. Gambaran Sumbu Filosofis Kota Jogja (Dok. BPCB DIY)

Masjid Agung atau biasa disebut Masjid Gede Kauman adalah komponen kota Yogyakarta kuno yang difungsikan sebagai tempat kegiatan religius, terletak di barat Alun-alun Ler (alun-alun utara). Secara fisik, masjid ini memiliki karakteristik yang sama dengan masjid kuno lainnya di Jawa yaitu beratap tumpang tiga dengan mustoko, berdenah bujur sangkar, mempunyai serambi dan pewastren, serta kolam di tiga sisi masjid. Uniknya adalah masjid ini mempunyai gapura dengan bentuk semar tinandhu. Selain unsur fungsional, masjid ini juga memiliki unsur simbolik yaitu atapnya yang tumpeng tiga merupakan simbol Iman-Islam-Ihsan, yang menyatu di satu titik yang melambangkan Allah Yang Maha Esa.

Gambar 3. Masjid Gedhe Kauman (Dok.Pribadi, 2020)

Pada lingkungan masjid, terdapat prasasti-prasasti dalam huruf dan Bahasa Arab dan Jawa yang berisi tentang masa pembangunan masjid dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Masjid Gede Kauman. Penamanaan Kauman berasal dari lingkungan sekitar masjid yang merupakan pemukiman para santri dan ulama. Selain Kauman, penyebutan Suronatan juga memiliki makna yang sama. Keduanya memiliki nilai historis sebagai wilayah yang kondusif perkembanganan Gerakan keagamaan Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. A. Dahlan pada 1912 M.

Kawasan kraton dikelilingi oleh benteng, yaitu benteng cepuri dan baluwarti. Cepuri adalah benteng dalam yang melingkupi kraton, sedangkan baluwarti adalah benteng luar yang melingkupi kraton, komponen kota, dan pemukiman di sekitarnya. Benteng milik kraton memiliki makna simbolik dan praksis. Makna simboliknya adalah adanya benteng sebagai tanda kesakralan wilayah yang ditinggali penguasa dan kerabatnya, benteng tersebut adalah cepuri. Makna praksisnya adalah adanya benteng sebagai bentuk dari usaha pertahanan dari serangan musuh, benteng tersebut adalah baluwarti. Sebagai media pertahanan, benteng baluwarti dilengkapi dengan jagang (parit pertahanan), yang masing-masing sudutnya terdapat bastion atau dalam Bahasa Jawa disebut tulaktala. Kawasan di dalam lingkung baluwarti biasa disebut dengan Jeron Betneng.

Gambar 4. Plengkung Nirboyo/Plengkung Gading (bagian benteng) (Dok.Pribadi, 2020)

Bangunan sebagai jejak kota Yogyakarta kuno yang berada di luar pusat kota dan masih bisa dinikmati secara visual, salah satunya adalah Masjid Pathok Negara. Terdapat empat Masjid Pathok Negara, yaitu: Masjid Dongkelan, Masjid Babadan, Masjid Mlangi, Masjid Ploso Kuning dan Masjid Wonokromo yang merupakan tambahan (Abror, 2016). Masjid-masjid Pathok Negara merupakan wujud simbolik dari falsafah Jawa yang dikenal dengan istilah kiblat papat limo pancer, atau biasa disebut mancapat-mancalima. Keempatnya berlokasi di empat penjuru mata angin dengan Masjid Gedhe sebagai pusatnya. Masjid-masjid Pathok Negara merupakan batas dalam negari dalem Yogyakarta dan negara luar jogja. Selain memiliki fungsi religius, Masjid-masjid Pathok Negara berfungsi sebagai pertahanan masyarakat, berasal dari nama “Pathok Negara” yang artinya adalah tanda kekuasaan raja.

Gambar 5. Denah Masjid Pathok Negara (Dok. Tepas Tandha Yekti

 

Masjid Mlangi berdiri di sisi barat laut kota yaitu di Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman.  Masjid ini dibangun sebelum Kasultanan Yogyakarta berdiri, yaitu pada tahun 1723. Sejarahnya, pembangunan masjid ini adalah bentuk pernghargaan Sri Sultan Hamengku Buwana I kepada kakaknya, Raden Sandiyo atau Kiai Nur Iman. Pada saat itu, wilayah Mlangi sudah menjadi pemukiman penduduk, dan dijadikan sebagai desa perdikan.

Kedua adalah Masjid Ploso Kuning. Masjid ini berdiri di sisi utara kota yaitu di Ploso Kuning, Ngaglik, Sleman. Masjid ini merupakan masjid yamg dibangun setelah tahun 1724 dan berkaitan dengan Kiai Mursodo, putra dari Kiai Nur Iman. Hingga kini, masjid Ploso Kuning masih terjaga dan digunakan masyarakat sekitar untuk beribadah.

Gambar 6. Masjid Pathok Negara Ploso Kuning (Dok. Pribadi, 2020)

 

Ketiga adalah Masjid Dongkelan. Masjid ini berdiri di sisi barat daya kota yaitu terletak di Kauman, Dongkelan, Tirtonirmolo, Bantul. Masjid Dongkelan ini diperkirakan didirikan setelah perjanjian Salatiga pada tahun 1757 M. Sejarahnya, masjid ini dibangun atas peranan Kiai Syihabudin I yang berhasil mengusir pemberontakan Raden Mas Said dari wilayah Kasultanan Yogyakarta. Atas jasanya tersebut, dihadiahkan tanah perdikan oleh Hamengku Buwana I di Dongkelan untuk dibangun sebuah masjid.

Keempat adalah Masjid Babadan. Masjid ini berdiri di sisi timur kota yaitu di Kauman, Babadan, Banguntapan, Bantul. Masjid Babadan didirikan pada tahun 1774. Pada awalnya, wilayah Babadan akan digunakan oleh pemerintah Jepang (1942-1945), sehingga banyak masyarakat setempat yang pindah ke utara dan memindahkan lokasi pembangunan masjid Babadan. Akan tetapi, rencana Jepang tersebut tidak jadi direalisasikan dan berakhir pembangunan Masjid Babadan dilangsungkan oleh masyarakat yang masih mendiami wilayah Babadan.

Adapun masjid Wonokromo yang berdiri di sisi selatan kota yaitu di Wonokromo, Plered, Bantul. Masjid ini merupakan perluasan dari Masjid Babadan, yang pada awalnya masjid ini bukan bagian dari masjid Pathok Negara. Pembangunan masjid Wonokromo dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IV di atas tanah perdikan yang diberikan kepada Kiai Haji Muhammad Fakih, kakak ipar Sri Sultan Hamengku Buwana I.

Sebagian besar masjid-masjid di atas mengalami perubahan, penambahan jamaah, dan kurangnya pengertian masyarakat akan nilai penting warisan budayanya. Dari semua masjid, Masjid Pathok Negara Ploso Kuninglah yang pelestarian masih relatif bagus.

Masjid lain yang unik dan menjadi jejak penting Yogyakarta kuno adalah masjid Agung Pura Pakualaman. Masjid ini dibangun pada 1850 M, pada masa pemerintahan Sri Paku Alam II (1829-1858 M). Pendiriannya tertulis pada prasasti yang terdapat di dinding serambi masjid yang ditulis dalam huruf Arab dan Jawa. Masjid Agung Pura Pakualaman berada di Kauman, Gunungketur, Yogyakarta. Berbeda dengan Masjid Gedhe Kauman, masjid ini terdiri dari tiga bagian ruang yang di dalamnya masih tedapat ma’surah yang berhias ceplok bunga dan stilisasi huruf Arab (mirong) dengan mustaka berbentuk mahkota.

Pura Pakualaman juga menarik perhatian dalam tatanan kota Yogyakarta kuno. Sebagai pusat pemerintahan, Pura Pakualaman memiliki komponen yang sama dengan kraton Kasultanan Yogyakarta, dengan adanya alun-alun, masjid, dan lain sebagainya. Satu hal yang menarik dari pura (istana) ini adalah Pura Pakualaman menghadap ke selatan, berbeda dengan kraton Kasultanan Yogyakarta yang secara keseluruhan menghadap ke utara. Selain itu, untuk memasuki Pura Pakualaman, melewati gerbang utama yang disebut Regol Danawara. Regol ini dibangun pada tahun 1884 M, tertulis di dalam prasasti yang terdapat di bangunannya. Di dalam cepurinya, terdapat bangunan-bangunan inti yang berfungsi untuk kegiatan seremonial  dan sebagai penunjang kegiatan sehari-hari.

Gambar 7. Pura Pakualaman (Dok.Pribadi, 2020)

Jika Kasultanan Yogyakarta mempunyai pemakaman Imagiri sebagai pemakaman keluarga raja, Pakualaman memiliki pemakaman khusus untuk Adipati Paku Alam beserta keluarganya. Pemakaman ini bernama Pemakaman Girigondo yang terletak di bukit Girigondo, Temon, Kulon Progo. Berdiri di atas bukit, pemakaman ini mempunyai enam halaman yang ditata meninggi ke belakang dengan arah hadap selatan. Sejarahnya, makam ini dibangun pada tahun 1900, tertulis pada prasasti yang berada di pintu gerbang di halaman pertama. Pemakaman pada keenam halaman disusun secara berdasarkan hierarki tokohnya dimulai dari yang terbawah untuk kerabat yang paling jauh.

 

 

Daftar Pustaka

Abror, I. (2016, April). Aktualisasi Nilai-nilai Budaya Masjid Pathok Negoro. ESENSIA, Vol. 17, 63-79.

Setyastuti, A., W, B. P., Hardiyanto, E., Pramastuti, H., Ikaputra, Sunaryo, I., . . . Haryono, T. (2003). Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. (I. Adrisijanti, & Anggraeni, Eds.) Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.

 Daftar Gambar

Dokumentasi Pribadi, 2020

Laman BPCB DIY, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/, diakses pada 2 Desember 2020.

Laman Kraton Jogja, https://www.kratonjogja.id/, diakses pada 7 Desember 2020.

 

 

(Kontributor Penulis : Sri Ediningsih, 2020)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *