Close

Gudeg Khas Yogyakarta

Gudeg Khas Yogyakarta

Cakupan pelestarian soaial budaya dan lingkungan alam termasuk di dalamnya adalah kuliner asli suatu daerah. Yogyakarta (Jogja) bisa diidentifikasikan dengan gudeg, makanan asli khas Yogya. Maka dari itu Jogja juga disebut sebagai “kota gudeg”.

Kuliner asli sebuah kota dampaknya sangat luas bagi masyarakat local; yaitu dari sisi ekonomi, pertanian dan UMKM nya. Bahan-bahan untuk membuat gudeg adalah nangka muda (gori), dicampur dengan santan yang dihasilkan dari kelapa, ditambah dengan daun melinjo. Tanaman-tanaman tersebut tumbuh dengan mudah di manapun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat local.

Gudeg biasanya dijual oleh para perempuan yang memasak di rumah mereka masing-2, dan dijual di tempat-2 tertentu atau dirumah mereka sendiri. Ini sangat berguna bagi masyarakat kecil menengah berbudi-daya usaha sendiri (UMKM).

Meskipun gudeg sudah mulai ada sejak jaman pembukaan hutan Mentaok untuk kerajaan Mataram, gudeg semakin terkenal pada masa-2 revolusi dimana bahan pokok makanan sangat sulit didapat. Terutama di lingkungan Mbarek, di sekitar selokan Mataram ke arah utara,  yang penuh dengan pohon nangka dan kelapa, masyarakat banyak memanfaatkan tanaman tersebut sebagai sumber makanan.

Gudeg disiapkan dengan cara memasak gori cincang, santan kelapa, gula aren, dan bumbu-bumbu. Untuk membuat hasilnya gelap kemerahan, daun jati atau daun jambu biji bisa ditambahkan. Sebagai pelengkap gudeg juga disajikan dengan tahu, tempe, telur, dan ayam, serta sambel goreng krecek (olahan kulit kerbau dan sapi). Cara penyajian: gudeg bisa dijual dalam kemasan daun pisang, besek bambu, box kertas, dan kendil tanah liat.

Jenis gudeg ada dua macam, gudeg basah (awal/asli) dan gudeg kering. Gudeg basah disajikan dengan kuah santan encer, sementara gudeg kering disajikan dengan santan kental terpisah. Gudeg kering, yang lebih tahan lama, muncul karena kebutuhan wisatawan lokal sebagai buah tangan.

Di Jogja, ada beberapa gudeg yang “legendaris”, yang bertahan melalui beberapa masa, yaitu zaman penjajahan, revolusi dan kemerdekaan. Gudeg yang termasuk legendaris adalah:

  1. Gudeg Mbah Lindu

Warung gudeg Mbah Lindu sudah beroperasi sejak tahun 1940an, saat Mbah Lindu berumur 13 tahun hingga meninggalnya baru-2 saja pada 12 Juli 2020. Tempat penjualannya sejak jaman colonial di jalan Sosrowijayan, tepat di depan Hotel Grange Ramayana, tidak jauh dari Jalan Malioboro. Awalnya, Mbah Lindu membawa dagangan gudeg basahnya dengan berjalan kaki sejauh 5 km setiap hari dari rumahnya di daerah Klebengan, dekat UGM, menuju Sosrowijayan.

Sampai meninggalnya, Mbah Lindu tidak mengubah proses pemasakan yang menggunakan alat masak tradisional, termasuk kuali dan tungku dari tanah liat dan kayu sebagai bahan bakar.

Netfliz, pembuat TV program “Street Food Asia”, mendokumentasikan gudeg Mbah Lindu di tahun 2019. Harian Kompas sebelumnya juga menulis artikel tentang gudeg Mbah Lindu. Karenanya, gudeg Mbah Lindu semakin diburu oleh wisatawan local dan terkenal sampai ke luar Jawa.

 

  1. Gudeg Ju Djum

Ju Djum mulai berjualan gudeg sejak berusia 17 tahun sampai meninggalnya di tahun xxxx. Gudeg Ju Djum yang mempunyai cirikhas gudeg kering, mulai dijual di daerah Mbarek, sebelah utara Selokan Mataram. Setelah itu dibuka juga warungnya di Jl. Wijilan 167.

 

  1. Gudeg Manggar Bu Junilah

Gudeg Manggar berasal dari Bantul. Agak berbeda dengan yang lain, gudeg ini dicampur dengan manggar, yaitu bunga kelapa yang masih muda, menjadikan gudegnya terasa lebih gurih dan teksturnya lebih padat.

Industri gudeg membawa dampak positif pada ekonomi daerah dan masyarakat. Masyarakat yang terlibat termasuk:

  • para pemasok bahan-bahan dan bumbu-bumbu,
  • pembuat dan pemasok alat-alat memasak (tungku, kayu bakar, kuali dll.),
  • pemasok daun pisang, dan pembuat/pemasok besek, kendil dan box kardus
  • para pekerja baik yang di dapur, di warung atau restoran
  • para pengantar makanan pada pelanggan seperti becak, ojek dsb.
  • Pelayanan pengiriman termasuk go-send, go-food, dan pengiriman antar kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *