Close

Tinjauan Historic Urban Landscape Terhadap Kota Yogyakarta

Tinjauan Historic Urban Landscape Terhadap Kota Yogyakarta

Pendekatan ‘Historic Urban Landscape’

“Pelestarian mensyaratkan peningkatan kemungkinan pemanfaatan, karena pelestarian artinya adalah penggunaan terus-menerus. Tanpa kemungkinan pemanfaatan, masyarakat akan kehilangan alasan untuk melestarikannya,”. Nadiem Makarim | Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam rangka Temu Pusaka Indonesia 2020 di Banda Neira.

 

Pemanfaatan pusaka perkotaan merupakan topik perdebatan di bidang pelestarian, perencanaan, arsitektur maupun kebijakan kota. Seringkali pusaka dianggap identik dengan kegiatan pariwisata sebagai satu-satunya cara mendatangkan manfaat bagi kota dan warga. Padahal pusaka juga dapat menjadi inspirasi kreativitias, inovasi dan pembaruan kota. Kampanye untuk mengintegrasikan pusaka dalam pembangunan kota yang berkelanjutan adalah topik yang diusung oleh berbagai organisasi, pelaku dan pemerhati pelestarian pusaka. Dijelaskan dalam ‘Hoi An Protocols for Best Conservation in Asia’ yang terbit tahun 2009, prinsip pelestarian adalah pemanfaatan pusaka yang disepakati untuk meningkatkan kualitas ruang hidup.

 

Dalam praktiknya, kontradiksi dan ketegangan antara tujuan pelestarian pusaka dan pembangunan tidak dapat diselesaikan dengan mudah. Situasi ini merupakan gambaran adanya ancaman terhadap pusaka akibat praktik pembangunan dan urbanisasi yang tidak terkendali. Dalam banyak kasus pemahaman tentang pemanfaatan pusaka dan pengelolaannya dalam konteks pembangunan perkotaan juga minim. Inisiatif untuk merumuskan pendekatan pelestarian kota dimulai dengan Kongres Pusaka Dunia dan Arsitektur Kontemporer yang diadakan di Wina, Austria pada tahun 2005. Kongres tersebut membahas tentang transformasi kota dan dampaknya terhadap pusat bersejarah seiring dengan maraknya pembangunan dengan pendekatan arsitektur kontemporer di kawasan bersejarah yang telah ditetapkan sebagai pusaka dunia.

 

Salah satu hasil Kongres tersebut adalah memperkenalkan HUL sebagai pendekatan baru untuk memahami nilai pusaka perkotaan dan menerapkan pelestarian kota. Akar Pendekatan HUL dapat ditemukan dalam beberapa rekomendasi dan deklarasi internasional terkait pusaka perkotaan yang diadopsi oleh UNESCO dan ICOMOS. Hal ini dapat diketahui lebih lanjut dengan mempelajari publikasi Francesco Bandarin dan Ron van Oers (2012, 2015) tentang pendekatan HUL serta kajian Ashworth (1992) tentang pelestarian sebagai manajemen perubahan.

 

Berikutnya pada Sidang Umum pada tahun 2011, UNESCO mengadopsi pendekatan tersebut sebagai ‘Recommendation on Historic Urban Landscape (HUL)’. Dokumen ini merupakan tonggak penting karena mengakui pemanfaatan pusaka dan pembangunan kota yang berkelanjutan sebagai hal yang saling terkait dan kelak seiring sejalan dengan kampanye ‘Sustainable Development Goals (SDGs)’ dan ‘New Urban Agenda’.

 

Terminologi ‘Historic Urban Landscape’ dapat saja diterjemahkan menjadi ‘Lanskap kota bersejarah’. Namun, HUL bukanlah satu kategori pusaka. Dalam buklet ‘Nafas Baru Kota Bersejarah’, dijelaskan bahwa HUL adalah lapisan kota atau hasil dari perlapisan dan terjalinnya nilai-nilai budaya dan alam dari waktu ke waktu melampaui konsep ‘pusat bersejarah’ serta mencakup konteks perkotaan yang luas dan pengaturan geografisnya. Ruang kota yang dimaksud mencakup lingkungan binaan, infrastruktur, keragaman dan identitas, struktur kota, ruang terbuka, proses ekonomi, nilai sosial, hidrologi, geomorfologi, dll.

 

Pengelolaan kawasan perkotaan merupakan tantangan, karena sifat kota yang dinamis dan pembangunan tidak dapat dielakkan seiring karakter masyarakatnya. Bagaimanapun, pusaka dapat berperan sebagai katalis bagi pembangunan kota. Kawasan yang memiliki aset pusaka dapat menarik masyarakat dan kehadiran kegiatan sosial ekonomi dengan kapasitas pengelola kota untuk meramu pemanfaatan pusaka serta meningkatkan kualitas ruangnya.

Pendekatan HUL merupakan instrumen tambahan dalam mencapai pembangunan kota yang memanfaatkan pusaka secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan itu, implementasi pendekatan HUL berfokus pada empat instrumen, yaitu pengetahuan dan perencanaan, keterlibatan masyarakat, sistem keuangan dan sistem regulasi. Penerapan pendekatan HUL dapat dicapai dengan metodologi yang yang diusulkan, yaitu survei dan pemetaan sumber daya alam, budaya, dan manusia kota, dan mencapai konsensus dengan menggunakan perencanaan partisipatif dan konsultasi pemangku kepentingan tentang nilai yang harus dilindungi untuk ditransmisikan dan dikembangkan untuk generasi mendatang, serta menentukan atribut yang membawa nilai-nilai ini. Metode berikutnya adalah menilai bagaimana pembangunan (sosioekonomi, lingkungan) dapat mempengaruhi atribut pusaka, dan mengintegrasikan nilai pusaka kota dalam pembangunan perkotaan.

 

Perkembangan Yogyakarta Sebagai Karakter HUL

Pusaka tidak hanya monumen, tetapi juga terkait dengan konteks sejarah, budaya serta perkembangan wilayah. Untuk memahami kota sebagai HUL, pertanyaan yang perlu dijawab seperti alasan mengapa wilayah tersebut dibangun. Makna budaya yang terkait dengan wilayah tersebut dari waktu ke waktu, serta narasi utama dan bagaimana diekspresikan dalam aset pusaka yang ada.

Pemahaman terhadap Kota Yogyakarta sebagai hasil dari perlapisan dan terjalinnya nilai-nilai budaya dan alam dari waktu ke waktu telah menarik perhatian banyak peneliti. Berbagai riset telah dikerjakan untuk memberi pemahaman yang lengkap mengenai lapis-lapis sejarah Kota Yogyakarta.

Kota Yogyakarta sebagai lokasi terpilih bukan tanpa pertimbangan, menurut Ediningsih (2020),

Berdasarkan tinggalan Kerajaan Mataram yang ditemukan di Yogyakarta bisa jadi bahwa dahulu Yogyakarta merupakan daerah pusat kerajaan karena terdapat candi kerajaan yaitu Candi Prambanan yang termasuk dalam wilayah Yogyakarta. Poesponegoro dan Notosusanto (2011: 123-124) menjelaskan pusat kerajaan dipindahakan lebih ke timur, ke Kedu, ataukan ke sekitar Prambanan, ataukan di daerah Purwodadi-Grobokan berdasarkan berita dari Cina. Selaian itu dilihat dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa Yogyakarta menjadi saksi atas kebesaran dari kerajaan Mataram.

Kajian yang lebih awal tentang cikal bakal Yogyakarta mengindikasikan Kerajaan Mataram Islam yang dibangun di Kawasan Kotagede sekarang (Inajati, 2000). Pada akhir abad ke-16 M, lahir sebuah kekuasaan baru di Jawa Tengah yang berpusat di wilayah Yogyakarta sekarang, yaitu di Kota Gede. Masa tersebut dikenal dengan masa Mataram Islam. Kerajaan Mataram Islam berkembang pada abad ke-16 hingga abad ke-18 Masehi (Nurhadi & Armeini, 1978). Selama itu, pusat Kerajaan Mataram Islam sempat berpindah tiga kali, yaitu di Kota Gede, Plered, dan Kartasura. Oleh karena itu, pembabagan masa Mataram Islam secara kronologis dimulai dari Kota Gede, lalu Plered, dan diakhiri dengan Kartasura (Adrisijanti, 1997).

Adishakti (1997) telah membuat kajian pertumbuhan Yogyakarta dengan menggunakan metode morfologi perkotaan. Studinya menunjukkan bahwa Yogyakarta tumbuh dalam beberapa periode yang berbeda-beda yaitu Kerajaan Mataram Islam di Kotagede, Kasultanan Yogyakarta, kolonial Belanda sampai dengan kemerdekaan. Periode-periode yang berbeda tersebut menghasilkan bentukan fisik kota serta arsitektural yang memberi karakter.

Gambar 1. Pola Perkembangan Yogyakarta (Sumber: Adishakti)

Gambar 1. Pola Perkembangan Yogyakarta (Sumber: Adishakti, 1997)

Kajian tersebut menunjukkan pula bahwa pusat kerajaan yang dibangun diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Code dan Sungai Winongo, yang berhulu di kaki Gunung Merapi dan berhilir di laut Selatan. Adanya dua sungai menunjukkan betapa subur daerah tersebut yang dapat dilihat lebih rinci pada berikut ini.

Gambar 2. Pola Ruang Pusat Kota Yogyakarta Tahun 1830

Kelak pembentukan Kota Yogyakarta tidak lepas pula dari interaksi dengan bangsa barat dan timur lainnya. Belanda bercokol di Kota Yogyakarta dan jejaknya dilihat pada kehadiran arsitektur seperti Benteng Vredeburg. Pada tahun 1813, Kadipaten Pakualaman didirikan dengan intervensi oleh Gubernur Jendral Britania Raya, Sir Thomas Raffles. Selain itu, etnis Tionghoa merupakan pelaku penggerak perekonomian. Kawasan Ketandan yang dihuni oleh orang-orang Cina mulai ada. Mereka diberikan tanah di sebelah utara pasar beringharjo oleh Sri Sultan HB II. Bentuk kawasannya yang khas tampak pada peta tahun 1830.

Karakter Kota Yogyakarta dibentuk pula oleh kehidupan komunitas seni. Pada tahun 1948, Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Menurut Dian Anggraini (2020). Kepindahan Ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta awal tahun 1946 yang diikuti oleh kepindahan para senimannya seperti Hendra Gunawan, Affandi, Sudarso, dan lain-lain turut memberikan pengaruhnya pada kehidupan seni rupa di Yogyakarta.  Sri Sultan mendukung pergerakan para seniman tersebut dengan memberikan tempat sebagai studio kegiatan di Rumah Perkapalan 38, pendopo kecil di utara alun-alun Keraton Yogyakarta.

 

PENUTUP

Tulisan ini belum memberi gambaran yang utuh potensi Kota Yogyakarta dilihat dari pendekatan Historic Urban Landscape. Setidaknya berbagai tulisan yang telah disiapkan dapat menunjukkan keutuhan kota sebagai rajutan alam dan budaya serta dinamika masyarakatnya.

 

(Kontributor Penulis : Punto Wijayanto, 2020)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *