Close

Identifikasi Elemen-Elemen Pembentuk Lanskap Kota Yogyakarta

Identifikasi Elemen-Elemen Pembentuk Lanskap Kota Yogyakarta

PENGANTAR

Apakah yang istimewa dari lanskap Kota Yogyakarta ?

Lanskap kota Yogyakarta yang bukanlah hanya mementingkan bentuk indah dipandang ataulah fungsi yang berdaya ekologis saja namun juga sarat dengan makna.

Membaca peta lanskap Kota Yogyakarta adalah membaca aspek natural dan aspek kultural.

 

ASPEK NATURAL

Pemilihan lokasi Kraton Yogyakarta sangat mempertimbangkan aspek ekologis. Terletak didataran antara gunung Merapi dan Laut Selatan, dataran ini sungguh subur. Air mengalir dari gunung melalui sungai-sungai mengairi tanah pertanian dibagian bawahnya. Kota Yogyakarta dilewati oleh Sungai Winongo di bagian Barat dan Sungai Code dan Sungai Gajah Wong disebelah Timur. Untuk mencukupi

 

ASPEK KULTURAL

Idealisme hidup

Idealisme hidup setiap orang didunia ini adalah untuk mencapai kebahagiaan. Hidup bagaikan di surga yang bebas dari penderitaan. Untuk mewujudkan surge di dunia inilah manusia mengkreasikan ruang dan bentuk tempat tinggalnya. Ruang yang memberikan kebahagiaan.

Kerajaan Mataram  dimulai dari babat Alas (hutan) Mentaok (jenis pohon) untuk menciptakan ruang hidup.  Kehidupan yang berada ditengah hutan belantara. Secara perlahan berbagai aktivitas menuntut  untuk diakomodasi. Jumlah penghuni juga kian bertambah sehingga selai ragam fungsi juga luasan ruangnya.

Selain untuk kebutuhan sehari-hari, juga terdapat kebutuhan musiman. Kebutuhan sosial seperti tempat berkumpul, pasar, dan hiburan juga bertumbuh.

Disisi yang lain kebutuhan untuk mempertahankan diri dari ancaman manusia yang berbeda ideologi dan kepentingan lainnya menyebabkan pembangunan kraton yang berpagar. Awalnya pagar dibuat dari bambu dan kayu. Mengingat  kekohohanya dianggap kurang memadai maka dikembangkannya pembatas dari dinding dengan material batu bata. Lebar dinding baru bata ini bisa mencapai 55 cm.

Pola tata ruang dan masa bangunan di dalam benteng dibagi dalam segmen-segmen dengan gerbang-gerbang sebagai penghubung. Masa bangunan tidak memenuhi area segmen tersebut melaikan hanya sebagaian. Sebagian besar dimanfaatkan ruang terbuka yang diisi perkerasan dan vegetasi.

 

DI LUAR BENTENG

Ruang terbuka hijau di luar kraton dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas. Ruang-ruang tersebut antara lain hutan untuk berburu menjangan, arena balapan kuda dan tentu lahan pertanian dan perkebunan.

Diluar benteng Kraton terdapat juga fungsi yang menampung aktivitas lainnya. Terdapat berbagai macam pusat-pusat kegiatan seperti pendidikan, perdagangan ,rekreasi dan lainnya. Pusat-pusat kegiatan ini dihubungkan dengan akses jalan. Ditepi tepi jalan ini ditanami tanaman yang peneduh yaitu pohon Gayam.

 

Beberapa bentuk penataan taman di kota Yogyakarta pada tahun 1833 dapat dilihat pada penggalan-penggalan jalan dan area berikut ini :

 

Salah satu aktivitas yang menonjol adalah aktivitas untuk pendidikan yang dilakukan di asrama. Asrama adalah tempat pendidikan yang digunakan oleh Brama untuk mendidik Brahmacari, Asrama ini biasana terdiri dari beberapa bangunan untuk hunian para Brahma dan wadah pendidikan. Di dalam asrama yang dibatasi oleh pohon-pohon pisang kipas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dihalaman ditanami aneka tanaman hortikultura dan tanaman obat . Diluar asrama terdapat sawah lading yang ditanami padi dan umbi-umbian.

 

SIKAP TERHADAP ALAM

Sikap orang Jawa terhadap alam sangat jelas. Orang Jawa menganggap alam adalah bagian dari hidupnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan berbagai kegiatan ritual  seperti Bedah Bumi, Merti Bumi sampai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tembang Mijil dapat diidentifikasikan bahwa Dewi Sri menjadi Dewi Pertanian yang dihormati. Setiap rumah Jawa kebanyakan memiliki Sentong yaitu kamar ditengah untuk Dewi Sri.

 

VEGETASI KHAS YOGYAKARTA

Sri Sultan Hamengku Buwono I merancang ide jawa “sangkan paraning dumadi” yang  memiliki arti “dari mana hidup berasal dan ke mana akan pergi.”.”Sri Sultan Hamengku Buwono I menginginkan symbol yang memberikan gambaran awal sampai akhir kehidupan manusia. Dengan begitu susunan bangunan, jenis tanaman, serta benda yang dibawa dan digunakan memiliki arti perputaran fase kehidupan manusia. Salah satu aspek penting adalah tanaman / vegetasi yang menjadi sangat bernilai di lingkungan Kraton Yogyakarta.,

 

Berdasarkan penelitian “Simbol dan Fungsi dalam Landscape Arsitektur Jawa Tradisional, Studi Kasus Yogyakarta” tahun 1990,  Keraton Yogyakarta memiliki tingkatan tanaman maupun fungsi bangunan sesuai dengan golongan sosial di Kota Yogyakarta. Hal tersebut antara lain:

1.   Vegetasi dalam Kebudayaan Jawa

Kakawin Siwaratrikalpa, sebuah surat Jawa kuno yang disusun oleh Zoetmulder di dalam bukunya Kalangwan,menggambarkan tanaman penting bagi masyarakat Jawa yang berbunyi.

“…     kumpulan asap mengalir keluar pergi melampauilangit

sebuah balai desa yang ternaung di bawah pohon beringn atapnya terbuat dari rumput

bagian bawah sering digunakan sebagai tempat berunding”

Contohnya adalah Pohon beringin pada Kraton, terletak di antara alun-alun utara dan selatan, 2 pohon beringin yang berdekatan diletakkan di bagian tengah masing-masing alun-alun. Masyarakat tidak hanya menghormati bentuk fisik dari pohon ini akan tetapi juga fungsinya, makna simbolisnyasehingga tiap tanamannya mengandung konteks yang berarti bagi sejarah.

 

2. Pemilihan Tanaman di Perkotaan Pusaka.

Bentuk bangunan permukiman kawasan kota Yogyakarta mengekspresikan tingkat golongan sosial-nya. Hal tersebut terdiri dari:

  • Bangunan milik Sultan Yogyakarta, antara lain istana dan fasilitas pendukung seperti Tamansari, alun-alun, dan lain-lain.
  • Bangunan permukiman milik bangsawan dan abdi dalem yaitu kantor istana
  • Rumah biasa dan fasilitas kota milik masyarakat biasa

Adapun penjelasan masing masing sebagai berikut:

Pola Kota kerajaan Mataram Yogyakarta terdiri beberapa komponen antara lain:

  1. Pesimpangan Pal Putih, terletak 1,5 km dari alun-alunutara
  2. Jalan utama dari Pal Putih istana/Kraton, yang dikenal sebagai JalanMalioboro
  3. “Benteng Baluwerti” dan 5 gerbang.
  4. Kraton/istana
  5. PanggungKrapyak

 

Urutan diatas dalam budaya jawa melambangankan urutan fase kehidupan manusia yaitu kelahiran, pendewasaan, dan kematian. Menurut KPH Puspodiningrat,Pal Putih melambangkan tempat kelahiran dan kemudian tumbuh di sepanjang jalan Malioboro. Masa remaja di istana dan masa dewasa di Panggung Krapyak.

Pendapat KPH Brongtodiningrat (1975) berbeda yaitu pertumbuhan manusia berasal dari Panggung Krapyak hingga menuju Pal Putih seperti dituliskan dalam buku “Tradisi Daerah Istimewa Yogkyakarta,” diterbitkan oleh Direktorat Jendral Kebudayaan, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1976.

Konsep terakhir seperti berikut:

  1. Pada area utara Panggung Krapyak terdapat pemukiman yaitu kampung Wijen berasal dari kata wiji, dalam bahasa Jawa memiliki arti “biji.” Sehingga manusia hanyalah sebuah “biji”. Di jalur utara dan selatanditanami pohon Asem dan Tanjung. Pohon Asemberarti “nengsemake” atau cantik dan menarik dalam bahasa Jawa. Pohon Tanjungberarti sanjung yang bermakna jawa membanggakan. Pohon-pohon tersebut melambangkan wajah indah anak-anak dan rasa bangga orang tua mereka.
  2. Jalan yang sama menuju utara dan melewati gerbang selatan Benteng Baluwerti bernama gerbang Nirboyoatau yang dikenal dengan gerbang Gading.Melambangkan perubahan masa kecil ke remaja. Sepanjang jalan dari gerbang menuju alun-alun selatan ditanami pohon Asem. Daun muda pohon ini disebut sinom, memiliki arti dalam Bahasa Jawa yaitu muda, baik, danlembut.
  3. Dua pohon beringin yang berdekatan diistilahkan “Supit-urang” yang melambangkan dua badan rahasia. Di sekitarnya pohon Kweni dan Pakel yang melambangkan anak-anak telah tumbuh.
  4. bangunan Sithinggilpada utara alun-alun selatan, kiri dan kanannya ditanami pohon Gayam.Gayam bermaknaiyem dalam bahasa Jawa berarti aman. Hal tersebut menciptakankesan rasa kebahagiaan, kesenangan dan keamanan, dan menggambarikan cinta antara anak laki-laki dan anak perempuan.
  5. Bangunan Sitihinggiltempat untuk Sultan memimpin rapatnya. Area sekitarnya ditamai pohon Mangga Cempora dan Soka.
  6. Dari Sitihinggil menuju bagian utara Kemandungan Selatan ditanami pohon Kepel, Mangga, Kelapa (Cengkir Gading) dan Jambu Dersana. Adapun maknanya antara lain:
    • Kata kemandungan (kosakata Jawa) sama dengan kata ngandung (kosakata Jawa) yang memiliki arti kehamilan.
    • Bahasa Jawa Mangga adalah pelem yang mengilustrasikan pada gelem, kesemuanya adalah harapan mereka, laki-laki dan perempuan.
    • Kepel dari kata kempel/kembal (bahasa Jawa) berarti gabungan kerelaan, perasaan, dan aspirasimereka.
    • Jambu Dersana dari kata kadersan sihing sesame yang berarti embrio manusia adalah cinta antara pasangan suami danistri
    • CengkirGading, sebuah tipe pohon palem, biasanya digunakan untuk perayaan 7 bulan kehamilan.
  7. Gerbang Gadungmlati menuju Kemagangan di bagian utara Kemandungan melambangkan proses perjalanan bayi, dan bayi ini mulai menjadi manusia.Magang dalam bahawa Jawa adalah kedatangan.
  8. Setelah Kemangangan,menuju ke pusat Kraton yang terikatdengan Gerbang Kemagangan di Selatan dan Gerbang Danaprana di sebelah Utara. Kadaton atau pusat istana melambangkan kedewasaanmanusia.
  9. Dari pusat istana ke Pal Putih melambangkan manusiayang mengonsentrasikan pemikrannya dan terhalang dari berbagai rayuan. Adapun pengahalang pengahalang tersebut:
    1. Penghalang pertama ada di alun-alun utara, sebuah ruang besar dan raksasa di mana seseorangakan merasa kecil apabila berada sendiri di sini.
    2. Persimpangan jalan di alun-alun utara menjadi penghalang kedua di mana seseorang tidak diperbolehkan untuk melihat rayuan dengan berbelok kiri atau kanan.
    3. Rayuan berikutnya di sepanjang poros utara-selatan, seperti Pasar Bringharjo, tempat yang menyediaakan berbagai barang menarik, makanan-makanan enak. Hal tersebut berarti seseorang yang mengonsentrasikan pikirannya tidak boleh untuk mengkonsumsi materi kemewahan dan menyalahgunakan kekuasaan.

Apabila ia berhasil dalam perjalanannya, ia akan mencapai Pal Putih yang melambangkan kesatuan manusia dengan Tuhannya. Seluruh kehidupan manusia tujuannya adalah penghormatan kepada kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa.Pohon-pohon sepanjang poros utara selatan adalah Asem, dan di depan Benteng Belanda dan rumah gubernur ditanami pohon beringin, Asem, dan pohon Kenari.

 

 

Selanjutnya adalah hubungan penataan dansimbol pemilihan vegetasi. Dalam tinggi rendahnya status keningratan, perlu diseimbangkan simbol kekuatan dan kelembutan  dalam implementasinya adalah ketika pemilihan tanaman yang besa/monumental diiringi juga tanaman yang lembut. Pemilihan tersebut berarti bahwa “seseorang harus memikirkan keseimbangan dari kehidupannya, yaitu keseimbangan  hubungan baik antara manusia dengan lingkungan alam”. Sebagaimana di lirik lagu Jawa kuno bernama Mijil:

 

Ing Mataram, betengira inggil ngubengi kadathon,

plengkung lima, mung papat mengane, jagang jero toyanira wning,

tur pinacak suji, gayam turut lurung”

(Di Mataram, tembok-tembok tingggi mengelilingi istana, ada lima gerbang, tetapi, hanya satu yang terbuka, kanal / jagang dalam dengan air yang jernih, tersusun rapi, pohon Gayam sepanjang jagang)

 

 

TAMANSARI

Tamansari dibangun Sultan HamengkuBuwono I (Raja Pertama Keraton Yogyakarta), dimulai tahun 1684 H di Tahun Islam atau 1758 Masehi. Fungsi dari Tamansari tidak hanya sebagai taman rekreasi, tetapi juga sebagai area pertahanan yang kokoh serta satu bagian kompleks tyang didesain sebagai masjid. Tamansari terdiri dari 57 bangunan termasuk lorong bawah tanah dan bawah air dan 18 taman berbeda. Air menjadi fitur paling penting dari fasilitas yang tersedia yaitu sebuah danau buatan dan serangkaian kolam mandi. Sumber air dari air sungai Winongo, di sebelah barat samping Kraton yang terhubung dengan Kali Larangan.

Danau buatan memiliki 2 pulau, pulau Kenanga di Barat dan pulau Gadung di tenggara Kraton. Penatannya dengan cara bersilang. Bagian Utara dan selatan adalah Kraton,  Tamansari dengan danau buatan yang menghubungkan ke dua pulau tersebut. Area yang menjadi persimpangan terletak di jembatan gantung yang terhubung dengan Kraton dan Sitihinggil Selatan. Penataan ini memiliki arti yaitu sebuah taman yang menyuplai hasil alam untuk istana, seperti sayuran, buah-buahan, bunga, rempah-rempah, obat-obatan tradisional, barang pesanan, dan kosmetik alami.

 

Halaman rumah bangsawan dan rumah pangeran

Rumah bangsawan dan pangeran memiliki tiga halaman yaitu halaman depan, halaman dalam, dan halaman belakang, dalam rumah tradisional bangsawan jawa yang biasanya terdiri dari pendopo, pringgitan, dan gandok.Sebagian rumah bangsawan jawa memiliki jalan yang menuju gerbang yang disebut gladak. sepanjang gladak terdapat jajaran pohon tanjung. Halaman depan terdapat pohon Sawok kecik, di halaman tengah sebagian besar adalah bunga-bunga kecil, dan di halaman belakang biasanya tumbuh sayur-mayur yang berguna sebagai tanaman obat, dan buah-buahan seperti mangga.

 

Vegetasi di lingkungan masyarakat umum

Masyarakat biasa memilih tanaman berdasarkan fungsinya bagi kehidupan sehari-hari atau untuk dijual. Sebagai ganti dari pohon-pohonan, mereka menggunakan tanaman hijau/tanaman rambat untuk pagar.   Vegetasi bagi masyarakat Jawa tidak hanya diapresiasi dari bentuk dan fungsinya secara ekologis namun juga diperhatikan makna simboliknya.

Tabel Lokasi Penempatan Pohon

NO LOKASI

JENIS POHON

ARTI/ SIMBOL FOTO/GAMBAR
A KRATON YOGYAKARTA
1 –     Alun-alun utara dan selatan

–     2 pohon beringin yang berdekatan diletakkan di sekitar bagian tengah masing-masing alun-alun

–     di sudut alun-alun

–     bangunan kantor, persimpangan, ataupun di kuburan

Pohon Beringin Vegetasi dalam kebudayaan Jawa  
2 Di jalur utara selatan (tepatnya di sumbu imajiner utara-selatan) Pohon Asem cantik dan menarik.

wajah indah anak-anak dan rasa bangga orang tua mereka

 
3 Jalan yang sama menuju utara dan melewati gerbang selatan Benteng Baluwerti bernama gerbang Nirboyo atau yang dikenal dengan gerbang Gading Pohon Asem melambangkan perubahan periode dari masa kecil menuju keremajaan, muda, baik, dan lembut  
4 Di jalur utara selatan (tepatnya di jalur imajiner utara-selatan) Pohon Tanjung bangga atau semisalnya.

wajah indah anak-anak dan rasa bangga orang tua mereka

 
5 Sekitar alun-alun selatan Pohon Kweni dan Pakel melambangkan bahwa anak-anak telah tumbuh  
6 Di sebelah kiri dan kanan bangunan sitinggil (bagian utara alun alun selatan) Pohon Gayam memberikan rasa kebahagiaan, kesenangan dan keamanan, dan mengilustrasikan cinta antara anak laki-laki dan anak perempuan.

 

 
7 Bangunan Sitihinggil selatan Pohon Mangga Cempora dan Soka melambangkan pasangan dalam acara pernikahan  
8 Dari Sitihinggil menuju bagian utara Kemandungan Selatan Kepel, Mangga, Kelapa (Cengkir Gading) dan Jambu Dersana –    Kata kemandungan (kosakata Jawa) secara semantik memiliki kesamaaan dengan kata ngandung (kosakata Jawa) yang memiliki arti kehamilan

–    Bahasa Jawa Mangga adalah pelem yang mengilustrasikan pada gelem, kesemuanya adalah harapan mereka, laki-laki dan perempuan

–    Kepel dari kata kempel/kembal (bahasa Jawa) berarti kesatuan kerelaan, embrio, perasaan, dan aspirasi mereka

–    Jambu Dersana dari kata kadersan sihing sesama, ini berarti embrio manusia adalah cinta antara suami dan istri

–     CengkirGading, sebuah tipe pohon palm, biasanya digunakan untuk perayaan 7 bulan kehamilan

 
9 Di bagian utara Kemandungan terdapat Gerbang Gadungmlati menuju Kemagangan Jambu Air, Kepel, Kelapa, Belimbing, lingir, sawo kecik, dan berbagai jenis kanthil.

 

makanan bayi telah disiapkan  
10 Pohon-pohon sepanjang poros utara selatan Pohon Asem    
11 Di depan Benteng Belanda dan rumah gubernur pohon Beringin, Asem, pohon Kenari    
12 Di selatan Sitihinggil melewati Gerbang Brajanala Tanjung, Cengkir Gading, dan Keben    
13 Bangunan Sri Manganti, bangunan Trajumas, gerbang Sri Manganti, dan beberapa bangunan kecil sepanjang tembok samping Jambu Telampok Arum melambangkan bahwa manusia harus berkata bijak atau memiliki “aroma yang harum” sebagaimana pohon perfume fruit  
         
B TAMANSARI
  Tamansari sayuran, buah-buahan, bunga, rempah-rempah, obat-obatan tradisional, barang pesanan, dan kosmetik alami.

 

 

Tamansari adalah sebuah taman yang menyuplai sumber alam untuk istana  
         
C HALAMAN RUMAH-RUMAH BANGSAWAN, RUMAH-RUMAH PANGERAN
1 Di sepanjang gladak Pohon Tanjung    
         
2 Di dalam halaman depan Sawo Kecik    
         
3 Di halaman tengah bunga-bunga kecil    
         
4 Di halaman belakang

sayur mayur, tanaman obat dan buah buahan seperti mangga

   

 

BERKURANGNYA RUANG TERBUKA HIJAU DAN POHON-POHON PENEDUH DI KOTAYOGYAKARTA

Berdasarkan foto lama dibandingkan foto sekarang banyak pohon peneduh yang hilang.  Dahulu, jalan utama Yogyakarta memiliki pohon peneduh seperti pohon Asemdan Tanjung. Foto tersebut menunjukkan perubahan suasana dari beberapa sudut ruang kota Yogyakarta.

Berdasarkan peta dapat diidentifikasikan bahwa ruang terbuka hijau di kota Yogyakarta memang telah semakin terbatas.

Peta tahun 1925, 1944 dan 2020 (Pemetaan : Gufron)

 

KULTURAL

Kerajaan Mataram  dimulai dari babat Alas (hutan) Mentaok (jens pohon) untuk menciptakan ruang hidup.  Kehidupan yang berada ditengah hutan belantara. Secara perlahan berbagai aktivitas menuntut  untuk diakomodasi. Jumlah penghuni juga kian bertambah sehingga selai ragam fungsi juga luasan ruangnya.

Selain untuk kebutuhan sehari-hari, juga terdapat kebutuhan musiman. Kebutuhan sosial seperti tempat berkumpul, pasar, dan hiburan juga bertumbuh.

Disisi yang lain kebutuhan untuk mempertahankan diri dari ancaman manusia yang berbeda ideologi dan kepentingan lainnya menyebabkan pembangunan kraton yang berpagar. Awalnya pagar dibuat dari bambu dan kayu. Mengingat  kekohohanya dianggap kurang memadai maka dikembangkannya pembatas dari dinding dengan material batu bata. Lebar dinding baru bata ini bisa mencapai 55 cm.

Mijil

(1)

Pan minangka pangajab pamuji,

Kasaenan yektos,

Kados tembung Sri yeku tegese,

Maring pangan utawi manawi,

Leresipun Esri,

Tegesnya winuwus.

(2)

Rajabrana padhang kamulyan-di,

Pramila dumados,

Manggenipun etangan griyane,

Kang utama kadhawahken Esri,

Pangajab utawi,

Ing pamujinipun.

(3)

Kang supados ingkang angenggeni,

Sageda dumados,

Nora kirang bukti rijekine,

Miwah sugih arta barana-di,

Kamulyan pinanggih,

Padhang tyas rahayu.

 

Pola tata ruang dan masa bangunan di dalam benteng dibagi dalam segmen-segmen dengan gerbang-gerbang sebagai penghubung. Masa bangunan tidak memenuhi area segmen tersebut melaikan hanya sebagaian. Sebagian besar dimanfaatkan ruang terbuka yang diisi perkerasan dan vegetasi.

Ruang terbuka hijau di luar kraton dimanfaatkan untuk berbagai aktifitas. Ruang-ruang tersebut antara lain hutan untuk berburu di panggung Krapayak, .Ruang untuk balapan kuda, ruang untuk pertunjukan sodoran dan rampogan dan lainnya.

 

DI LUAR BENTENG

Diluar benteng Kraton terdapat juga fungsi yang menampung aktivitas lainnya. Terdapat berbagai macam pusat-pusat kegiatan seperti pendidikan, perdagangan ,rekreasi dan lainnya. Pusat-pusat kegiatan ini dihubungkan dengan akses jalan. Ditepi tepi jalan ini ditanami tanaman yang peneduh yaitu pohon Gayam.

Salah satu aktivitas yang menonjol adalah aktivitas untuk pendidikan yang dilakukan di asrama. Asrama adalah tempat pendidikan yang digunakan oleh Brama untuk mendidik Brahmacari, Asrama ini biasana terdiri dari beberapa bangunan untuk hunian para Brahma dan wadah pendidikan. Di dalam asrama yang dibatasi oleh pohon-pohon pisang kipas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dihalaman ditanami aneka tanaman hortikultura dan tanaman obat . Diluar asrama terdapat sawah lading yang ditanami padi dan umbi-umbian.

Pada  jaman Mataram Kuno terdapat bangunan pendidikan yang disebut sebagai asrama. Asrama juga merupakan tempat tinggal p  ara biksu dan pendeta Buddha

Asrama ini biasanya terletak didekat sungai atau di delta sungai. Air dan tanah yang subur menjadi bagian penting dari asrama . Asrama ini terdiri dari beberapa bangunan yang dikelilingi pagar hijau. Pohon yang digunakan untuk memagari adalah pohon Pisang Kipas. Dikawasan sekitar asrama selain padi juga ditanam umbi-umbian dan sayur-sayuran. Hasil dari tanaman ini dimanfaatkan untuk kehidupan penghuni asrama.

Asrama adalah tempat pendidikan

Pada  jaman Mataram Kuno terdapat bangunan pendidikan yang disebut sebagai asrama. Asrama juga merupakan tempat tinggal p  ara biksu dan pendeta Buddha

Asrama ini biasanya terletak didekat sungai atau di delta sungai. Air dan tanah yang subur menjadi bagian penting dari asrama . Asrama ini terdiri dari beberapa bangunan yang dikelilingi pagar hijau. Pohon yang digunakan untuk memagari adalah pohon Pisang Kipas. Dikawasan sekitar asrama selain padi juga ditanam umbi-umbian dan sayur-sayuran. Hasil dari tanaman ini dimanfaatkan untuk kehidupan penghuni asrama.

 

ALUN-ALUN

Gambar : Tugu antara tahun 1900 – 1920

Gambar : Alun-alun pada peta tahun 1833

 

Elemen Pembentuk Lanskap :

Tanah lapang

Pohon Beringin

Pola : Geometris

 

Diketahui dalam buku berjudul “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat sebuah penjelasan dari ‘alun-alun’ , yakni sebuah hamparan lapangan rumput yang luas serta banyak dikelilingi oleh pohon beringin dan banyak dijumpai disetiap kediaman Bupati. Sehingga lapangan inilah kita kenal sebagai sebutan alun-alun. Kehadiran Alun-Alun ini sendiri sudah dikenal sejak jaman prakolonial, dimana bentuk fisiknya dari dulu sampai sekarang tidak banyak berubah namun konsep yang mendasari bentuk fisik tersebut telah banyak berubah sejak jaman prakolinial. Berikut uraian mengenai konsep yang mendasari kehadiran alun-alun dimasa lampau :

 

ALUN-ALUN PADA JAMAN PRAKOLONIAL DI JAWA

Pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-18, alun-alun telah dikenal sebagai bagian dari Kraton. Kraton dulu dikenal sebagai Pusat Pemerintahan dan Pusat Kebudayaan oleh masyarakat, dimana komplek keraton akan diberi pagar agar terpisah dari daerah lainnya pada suatu ibukota kerajaan. Pagar yang terpisah tidak selalu berkaitan dengan system pertahanan, tapi bisa juga menentukan aspek hubungan antara kepercayaan/keagamaan dengan kota/komplek Kraton.

Kraton dianggap sebagai wilayah Homogen (Sakral), yang teratur atau harus diatur. Dimana manusia religious atau masyarakat agraris religius dijawa ini, biasanya akan membagi ruang menjadi dua jenis, yakni berupa ruang homogen atau ruang sakral (disucikan).  Manifestasi inilah yang menciptakan konsepsi ruang dari sebuah Kraton, diibaratkan sebagai puncak Mahameru (atau Gunung Semeru) sebagai tempat tinggal raja yang disebut sebagai ‘dalem ageng’. Lingkaran bagian luarnya disebut ‘negara agung’ (negara besar), dengan batas luarnya yakni pelataran dalam. Disini kekuasan raja masih sangat terasa besar.

Diluar lingkaran ‘negara agung’ dinamakan dengan sebutan kawasn ‘mancanegara’ (luar daerah), namun belum keluar dari perbatasan teras Kraton, karena disini biasanya raja akan menerima kedatangan tamu. Untuk diluarnya lagi memiki sebutan Pasisir, dengan bangunan di batas alun-alun serta batas luarnya sudah mencapai Siti Inggil. Pada bagian pesisir raja akan semakin jarang muncul, Hanya beberapa kali dalam perayaan tertentu dalam setahun. Tempat pertemuan para Bupati berada di daerah paling luar atau sebutannya ‘sabrang’ (daerah seberang). Sehingga disinilah meskipun ‘alun-alun’ tempatnya terletak paling luar namun tetap berada dalam komplek tembok/pagar Kraton.

  Tatanan Kraton Surakarta Berdasarkan Kosmologi (Sumber : Behred, 1982:182)

 

Sebelah Utara pada komplek Kraton Majapahit, terlihat pada lukisan Prapanca dalam Negarakretagama, terdapat dua alun-alun yang masing-masing diberi nama Bubat dan Alun-alun Utara yang disebut sebagai Waguntur. Dimana lokasi tersebut terkenal sebagai tempat bertarung sengit utusan dari kerajaan Pajajaran dengan Pasukan Gajah Mada dengan luasan kira-kira 1 km2, lebar kurang lebih 900.00m. Keterangan Prapanca dalam Negarakretagama masih belum ditangkap dengan jelas bagaimana pentingnya alun-alun sebagai bagian dari pusat kota.

Rekontruksi Kraton Majapahit oleh H.Maclaine Pont berdasarkan kitab Negarakretagama. Rekontruksi ini dilakukan pada tahun 1924.

 

Fungsi dari Alun-alun ini memiliki perbedaaan, dimana fungsi dari Lapangan Bubat ini bersifat Propan dengan adanya pesta rakyat yang diselenggarakan setiap tahun sekali pada bula maret/April. 3-4 hari terakhir raja akan hadir dalam pertunjukkan atau permainan yang diselenggarakan. Untuk lapangan Waguntur pemanfaatannya lebih sacral, karena lapangan ini posisinya berada di Pura Raja Majapahit, yang biasanya digunakan sebagai upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Terdapat Siti Inggil pada lapangan Waguntur, serta sebelah Timur Lapangan terdapat komplek pemujaan (kuil siwa). Mirip seperti alun-alun Lor Kraton/Surakarta, hanya saja pada bagian pemujaan diganti dengan masjid yang terletak disebalah Barat alun-alun. Prototypenya dapat kita lihat pada alun-alun Yogyakarta dan Surakarta bekas perpecahan kerajaan Mataram dimasa lampau. Terdapat dua buah alun-alun baik di Yogyakarta maupun Surakarta. Pada masa lalu alun-alun berfungsi untuk menyiapkan kondisi yang dapat menunjnag hubungan Kraton dan Universum, serta berfungsi sebagai penyedia persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja.

Alun-alun pada umunya berbentuk segi empat dengan ukuran 300m X 265m. Dimana ditengahnya terdapat pohon beringin dan dikelilingi 64 pohon beringin dengan jarak tertentu sehingga tampak harmoni dengan sekitarnya. Pada 2 buah pohon beringin ditengahnya dipagari berbentuk segi empat, dan permukaan alun-alunya ditutupi pasir halus.

Keadaan Kraton Surakarta sekarang dengan alun-alun Lor alun-alun Kidul

 

Pada jaman Mataram (bagi rakyat biasa) orang harus menggunakan pakaian dan penutup kepala putih  untuk dapat langsung bertemu dengan raja, guna meminta pertimbangan langsung atau memecahkan suatu kasus dalam perselisihan sembari duduk menunggu diantara kedua pohon beringin, istilah ini disebut “pepe”.

Setiap Sabtu sore pada jaman Mataram, akan diadakan pertunjukkan Sodoran di alun-alun yang disertai dengan iringan Gamelan. Selain pertunjukkan Sodoran juga diadakan pertunjukkan perkelahian antara banteng dan harimau yang akan selalu diakhiri dengan kemenangan dari Banteng. Kekuasaan raja dilambangkan kedalam bentuk Banteng (atau orang jawa), sedangkan kekacauan adalah lambang dari harimau (atau orang Belanda). Letak dari Kandang Harimau dan binatang buas lainnya ini berada disebelah bangunan “Pamonggangan”.

Kadangkala ada juga pertunjukkan harimau yang disimbolkan sebagai kekacuan ini dengan cara membunuh ramai-ramai yang disebut sebagai “Rampong Macan”.

Sketsa Topografi Kraton Yogyakarta dan lingkungannya Ketika serangan Inggris dalam bulan Juni 1812 (sumber : Carey, 1986)

 

ALUN-ALUN JAMAN KOLONIAL

Susunan pemerintahan disini sangat erat kaitannya dengan peran alun-alun pada jaman Kolonial. Salah satu yang dikagumi pada system kolonialisme Belanda di Indonesia yaitu pemerintahannya yang tidak langsung (indirect rule). Pemerintah kolonial Belanda menggunakan penjabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya dalam memerintah Nusantara untuk langsung berhubungan dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur ini biasanya disebut Pangreh Praja (Pemerintahan Pribumi) atau orang Belanda lebih mengenalnya dengan istilah ‘Inland Bestuur.

Pejabat pribumi yang paling tinggi adalah ‘Regent’ atau bisa juga kita sebut sebagai Bupati pada jaman pemerintahan ‘Inland Bestuur. Bupati pada jaman kolonial ini berkuasa di daerah Mancanegara dan Pasisir (Kartodirjo, 1987:12). Tahun 1746 Pasisir jatuh ke tangan kompeni, sehingga Bupatinya menjadi Bupati Kompeni semacam ‘leverancier’ Kompeni. Menyediakan barang-barang serta tenaga manusia, diberikan keleluasan dalam mengembangkan kehidupan istana dengan meniru raja-raja Mataram untuk Kompeni. Namun setelah runtuhnya VOC, pemerinta nusantara ini diserahkan kepada pemerintah Kolonial Belanda yang kemudian disebut sebagai Bupati Gubermen.

Kemudian hubungannya dengan system pemerintah dengan alun-alun ,yakni terletak pada rumah-rumah Bupati di jawa yang selalu dibangun untuk menjadi miniature dari Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Pada rumah Bupati pada bagian depannya terdapat pendopo yang berhadan dengan alun-alun, dan sengaja diciptakan para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan di alun-alun tersebut juga diadakan perayaan semacam sodoran, grebegan dan sebagainya. Unsur fisik inilah yang dilihat pemerintah Kolonial Belanda sebagai potensi yang baik untuk dikembakan kedalam sistim pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Pada pusat kota Kabupaten inilah kemudian ditetapkan lambing pemerintahan Bersama antara Asisten Residen dengan Bupati kedalam bentuk fisik, yakni yang berwujud fisik tradisional berupa rumah Bupati beserta pendopo didepannya. Depan rumah Bupati tersebut terdapat alun-alun yang ditumbuhi oleh sebuah atau dua buah pohon beringin.

 

Prototype alun-alun pada kota Kabupaten di jaman kolonial. Terlihat pada gambar dimana rumah Bupati yang terletak di sebelah Selatan alun-alun berhadap-hadapan dengan kantor Asisten Residen yang terletak disebelah Utara dari alun-alun.

 

Rumah Bupati berada disebelah Selatan alun-alun, pada bagian Barat terdapat masjid Agung, sebelah Utara alun-alun yang berhadapan langsung dengan rumah Bupati sekarang diletakkan kantor Asisten Residen Belanda yang mengingatkan kita dengan benteng Vastenburg dan Vredenburg sesuai dengan Kraton Surakarta atau Yogyakarta. Sekitar alun-alunnya terdapat stasiun bus, pasar, dan pertokoan yang letaknya tidak berjauhan dengan bangunan pemerintahan dan alun-alunnya. Model inilah kemudian menjadi prototype dari identitas kota Jawa pada jaman Kolonial, sehingga sifat-sifat sakral dari alun-alun ini berkembang menjadi lebih merakyat menjadi semacam ‘civic space’, dan pada akhir jaman Kolonial menjadi ‘plaza’ di Eropa,

 

ALUN-ALUN PASCA JAMAN KOLONIAL

Jaman pra kolonial antara alun – alun, kraton dan masjid menerapkan konsep keselarasan yang merupakan wujud komplek keselarasan antara mikrosmos dan makrosmos orang Jawa. Meski terdapat transformasi bentuk alun – alun dari jaman Mojopahit sampai Mataram, tetapi tetap menerapkan konsep keselarasan. Diskontinuitas konsep terjadi pada era Kolonial. Munculnya konsep baru dalam penataan alun – alun akibat sistem ke Pemerintahan Belanda pada masa itu. Sehingga muncul istilah “Indisch”, pencampuran kebudayaan Jawa dan Belanda.

“Westernisasi” terjadi pada awal abad 20 di kota – kota Nusantara. Kebudayaan ini bermula dari “Indisch” yang berkembang di Abad 19. Dan di Awal abad ke 20 inilah awal mula rusaknya konsep alun – alun sebagai ciri khas kota di Nusantara.

Setelah Indonesia Merdeka, lambat laun alun – alun mulai kehilangkan ciri khas akibat kebijakan – kebijakan pembangunan kota. Alun – alun mulai beralih fungsi sebagai fasilitas olahraga , sebagai taman kota dan fungsi tidak jelas lainnya. Investor mulai marak untuk membeli alun – alun karena lokasi strategisnya. Semua itu akibat belum ada nya regulasi / peraturan konsensus budaya Nasional yang mengatur tentang alun – alun kota.

 

KESIMPULAN

Alun – alun kota di Nusantara terbentuk akibat konsep etika keselarasan yang diambil dari budaya sosial.  Setelah pasca kolonial kemungkinan kondisi alun – alun saat ini disebabkan oleh belum adanya regulasi / peraturan consensus budaya Nasional yang dapat diterima semua golongan. Modernisasi bukanlah suatu alternatif terhadap budaya, tetapi keduanya berkaitan secara dialektis. Karena kebudayaan bertitik dari tradisi masa lalu yang selaras dan perlu dipertahankan. Sehingga sesuatu yang baru dapat mengacaukan keselarasan yang harmoni dan mesti ditolak karena merupakan ancaman. Sehingga merupakan tantangan kita untuk mempertahankan nilai – nilai arsitektur tradisional sebagai dasar konsensus terhadap era arsitektur modern saat ini. Karena pada masa lalu arsitek dan pemberi nilai terletak pada seseorang saja, tetapi pada masa kini seorang arsitek adalah pemberi ‘Ujud’, dan dia bukan sumber nilai bagi masyarakat. Maka diperlukan pemikiran dan kemauan semua pihak.

Event Sodoran

Sodoran merupakan olahraga ketangkasan bagi para bangsawan dan prajurit Kraton Dinasti Mataram Islam. Setiap Sabtu sore pada jaman Mataram, akan diadakan pertunjukkan Sodoran di alun-alun yang disertai dengan iringan Gamelan. Sodoran dilakukan dengan cara menunggangi kuda dimana masing-masing pemainya saling adu ketangkasan menjatuhkan dengan menggunakan tombak berujung tumpul.

Ilustrasi Permainan Sodoran Di Alun-Alun Kerajaan Mataram

Sumber : https://www.facebook.com/MuseumUllenSentalu/posts/sodoran-dahulu-para-bangsawan-dan-prajurit-kraton-kraton-dinasti-mataram-islam-m/1331112650250306/

 

Event Rampogan

1876: Acara ‘Rampogan Macan.’ Lukisan lithografi halaman 12 dari buku “The Indian Archipelago”, the Hague, 1865-1876, object number 3728-430.

Pelukis: Louis Henri Wilhelmus Merckes de Stuers (1830–1869)

Sumber : https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/macan/Stuers.html

 

Rampogan merupakan tradisi mempertarungkan harimau dengan manusia atau bisa juga dengan hewan lain seperti kerbau dan banteng. Rampogan berkembang sejak abad ke-17 di wilayah kekuasaan Mataram, pada pemerintahan raja Amangkurat II. Pada abad ke-19, ada dua kebiasaan ketika acara rampogan. Pertunjukan pertama,pertarungan harimau dengan kerbau, biasanya kerbau yang menang dari pertarungan. Hal ini biasanya diadakan oleh pembesar pribumi, seperti bupati di Jawa. Pertunjukan kedua yaitu rampogan harimau. Beberapa harimau dan macan tutul yang tertangkap dalam kandang akan dilepaskan di lapangan yang dikelilingi orang yang membawa tombak sampai tiga lapis. Jika harimau atau macan tutul berusaha melarikan diri maka pemegang tombak akan berusaha membunuh harimau atau macan tutul tersebut. Biasanya akan berakhir dengan harimau atau macan tutul yang mati terluka, namun terkadang ada juga yang berhasil lolos dari kepungan. Biasanya diadakan oleh penguasa setempat.

 

Sumber 1 : https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/macan/Stuers.html

Sumber 2 : MUHAMMAD ROSYID AMMAR MURTADH. 2018. RAMPOGAN MACAN DI KEDIRI TAHUN 1890-1925. Universitas Negeri Surabaya. Volume 6 No.2. https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/24637 . tanggal akses 11/12/2020

 

Event Sekaten

Gambar : Tradisi Gunungan Sekaten tahun 1888 (Sumber: https://regional.kompas.com/read/2018/11/19/16250271/keunikan-sekaten-tradisi-memperingati-maulid-nabi-muhammad?page=all)

 

Sekaten merupakan tradisi turun temurun dari sekitar abad ke-15 yang berasal dari jaman Kerajaan Demak. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam di pantai utara jawa. Metode penyebaran Islam juga beragam baik melalui kesenian, kebudayaan maupun hubungan perkawinan. Metode penyebaran Islam melalui kesenian dan kebudayaan melahirkan tradisi-tradisi. Para sunan dan wali yang ingin menyebarkan Islam. Masyarakat pada masa itu tertarik dengan  hal yang berhubungan dnegan upacara dan seni musik seperti gamelan. Timbulah ide Sunan Kalijaga untuk menyelenggarkan sebuah penghargaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada Rabiul Awal.

Sekaten berasal dari kata “sekati”’. Sekati sendiri merupakan nama seperangkat gamelan yang berasal dari era Majapahit. Pendapat lain berasal dari negara, istilah Sekaten dari bahasa Arab, “syahadatain”, yang merupakan kalimat untuk menyatakan diri dalam Islam.

 

Sumber 1 : https://regional.kompas.com/read/2018/11/19/16250271/keunikan-sekaten-tradisi-memperingati-maulid-nabi-muhammad?page=all

Sumber 2 : https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/sekaten-dan-islam-jawa#:~:text=Merujuk%20sumber%20Kasultanan%20Yogyakarta%2C%20ritual,berasal%20dari%20kata%20’sekati’.

 

 

ASRAMA

Asrama pada  jaman Mataram Kuno terdapat bangunan pendidikan yang disebut sebagai asrama. Asrama juga merupakan tempat tinggal para biksu dan pendeta Budha

Asrama ini biasanya terletak didekat sungai atau di delta sungai. Air dan tanah yang subur menjadi bagian penting dari asrama . Asrama ini terdiri dari beberapa bangunan yang dikelilingi pagar hijau. Pohon yang digunakan untuk memagari adalah pohon Pisang Kipas. Dikawasan sekitar asrama selain padi juga ditanam umbi-umbian dan sayur-sayuran. Hasil dari tanaman ini dimanfaatkan untuk kehidupan penghuni asrama.  Sumber : Dielaborasi dari presentasi Bapak KRT Manu J. Widyaseputra, filolog,  dalam Bincang-bincang JHS, 22 Oktober 2020

Gambar: Bentuk arsitektur Candi Sari (Sumber: ariflukman.com diunggah 2014)

 

RANGKUMAN

Manusia Jawa adalah bagian dari alam. Manusia Jawa wajib untuk hidup selaras dengan alam.

Elemen=elemen pembentuk lansekap kota Yogyakarta sejak Kerajaan didirikan sangat dipertimbangkan pada aspek ekologis. Yang menarik dan signifikan adalah bahwa aspek kultural sangat kuat berpengaruh. Aspek kultural terkait dengan aspek-aspek filosofis yang menjadi karakteristik kota; signifikan untuk pengembangan berkelanjutan.

Dualistis antara ruang sacral dan profan, dan hiraki kewibawaan ningrat dan kelembutan seyogyanya terekspresikan secara harmonis.

Aspek Natural yang terkait dengan daya dukung Kawasan perkotaan (carrying Capacity) yang semakin berat perlu dipertimbangkan. Kawasan dengan karakteristik sakral pada area kraton dan sumbu filosofis sebaiknya dierkuat karakteristiknya dengan vegetasi dan ruang terbuka hijau yang memanfaatkan vegetasi-vegetasi khas Yogyakarta. Pengembangan pembangunan perkotaan diharapkan tidak mengganggu keberadaan Kawasan Sakral.

Tanah, air, pemilihan vegetasi selain dipertimbangkan atas keberlanjutan ekologis tentunya ditujukan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warga dan kotanya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *